DownloadNovel Bumi [ Tere Liye ] Pdf . Puyang. Novel Tere Liye 0 Januari 23, 2019. Judul Novel : BUMI Penulis : Tere Liye Penerbit : Gramedia Tahun Terbit : 9 Agustus 2018 Halaman : 440 Download Southern Eclipse Pdf. Puyang. Novel Romance Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama JakartaBUMI Oleh Tere Liye GM 312 01 14 0003 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Gedung Gramedia Blok I, Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29–33, Jakarta 10270 Desain sampul eMTe Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI, Jakarta, Januari 2014 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN 978-602-03-0112-9 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab PercetakanTereLiye “Bumi” 1 AMAKU Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belastahun. Aku anak tunggal, perempuan. Untuk remaja se­umuranku, tidakada yang spesial tentangku. Aku berambut hitam, panjang, dan suka membaca dan mempunyai dua ekor kucing di rumah. Akubukan anak yang pintar, apalagi populer. Aku hanya kenal teman-temansekelas, itu pun seputar anak perempuan. Nilaiku rata-rata, tidak adayang terlalu cemerlang, kecuali pelajaran bahasa aku amat menyukainya. Di kelas sepuluh sekolah baru ini, aku lebih suka menyendiri danmemperhatikan, menonton teman-teman bermain basket. Aku dudukdiam di keramaian di kantin, di depan kelas, dan di lapangan. Sebenarnyasejak kecil aku terbilang anak pemalu. Tidak pemalu-pemalu sekalimemang, meskipun satu-dua kali jadi bahan tertawaan teman ataukerabat. Normal-normal saja, tapi sungguh urusan pemalu inilah yangmembuatku berbeda dari remaja kebanyakan. Aku ternyata amat berbeda. Aku memiliki kekuatan. Aku tahu itusejak masih kecil meskipun hingga hari ini kedua orang­tuaku, teman-teman dekatku tidak tahu. Waktu usiaku dua tahun, aku suka sekali bermain petak pura-pura bersembunyi, lantas aku sibuk mencari. Akutertawa saat menemukan mereka. Kemudian giliranku pernah melihat anak kecil usia dua tahun mencoba bersembunyi?Kebanyakan mereka hanya berdiri di pojok kamar, atau di samping sofa,atau di belakang meja, lantas menutupi wajah dengan kedua telapaktangan. Mereka merasa itu sudah cukup sempurna untuk sudah me­nutupi wajah, gelap, sudah tersembunyi semua, padahaltubuh mereka amat terlihat. Aku juga melakukan hal yang sama saat Papa bilang, ”Raib, ayobersembunyi. Giliran Mama dan Papa yang jaga.” Maka aku tertawacomel, berlari ke kamarku, berdiri di samping lemari, me­nutupi wajahdengan kedua telapak tanganku. “Bumi” 2 Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum genapdua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah ku­mainkandengan penuh antusias. Namun, ternyata permainan itu tidak seru. Orangtuaku cu­ giliranku jaga dan mereka bersembunyi, aku se­lalu berhasilmenemukan mereka. Di balik gorden, di balik pot bunga besar, dibelakang apalah, aku bisa menemukan mereka meskipun sebenarnya akutahu dari suara mereka menahan tawa. Tetapi saat aku yangbersembunyi, mereka tidak pernah berhasil me­nemukanku. Merekahanya sibuk memanggil-manggil nama­ku, tertawa, masuk kamarku,sibuk memeriksa seluruh kamar. Mereka melewatkanku yang berdiripersis di samping lemari. Aku sebal. Aku mengintip dari balik jemari kedua telapak pastilah pura-pura tidak melihatku. Bagaimana mungkinmereka tidak melihatku? Itu berkali-kali ter­jadi. Saat aku bersembunyi diruang tengah, mereka juga ber­pura-pura tidak melihatku. Bahkan saataku hanya bersembunyi di tengah ruang keluarga rumah kami, menutupwajah dengan telapak tangan, mereka juga pura-pura tidak melihatku. Saat kesal, kulepaskan telapak tangan yang menutupi hanya berseru, ”Astaga, Raib? Kamu ternyata ada di situ?” atau”Aduh, Raib, bagaimana kamu tiba-tiba ada di sini? Kami dari tadimelewati tempat ini, tapi tidak melihatmu.” Lantas mereka memasangwajah seperti terkejut melihatku yang berdiri polos. Mereka memasangwajah tidak mengerti bagai­mana aku bisa tiba-tiba muncul. Padahal akusungguh sebal me­nunggu kapan mereka akan berhenti berpura-puratidak me­lihatku. Permainan petak umpet itu hanya bertahan satu-dua bulan. Akubosan. Aku sungguh tidak menyadari saat itu. Itulah kali pertamakekuatan itu muncul. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku me­ngertihingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan dari siapa pun hinggausiaku lima belas. Aku tinggal menutupi wajahku de­ngan kedua telapaktangan, berniat bersembunyi, maka seke­tika, seluruh tubuhku tidakterlihat. Lenyap. Orangtuaku sung­guh tidak punya ide bahwa anak “Bumi” 3perempuan mereka yang ber­usia kurang dari dua tahun bersembunyipersis di depan mereka, berdiri di tengah karpet, mengintip dari sela-selajarinya. Namaku Raib, gadis remaja usia lima belas tahun. Aku bisa menghilang, dalam artian benar-benar menghilang. “Bumi” 4 DUH, Ra, berhentilah mengagetkan Mama!” Mama berseru,wajahnya pucat. Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, bergabung di mejamakan, tertawa melihat Mama yang sedang mengelus dada danmengembuskan napas. Mama menatapku kesal. ”Sejak kapan kamu sudah duduk di depan meja makan?” ”Dari tadi, Ma.” Aku ringan mengangkat bahu, meraih kotak susu. ”Bukannya kamu tadi masih di kamar? Berkali-kali Mama te­riakikamu agar turun, sarapan. Sampai serak suara Mama. Ini sudah hampirsetengah enam. Nanti terlambat. Eh, ternyata kamu sudah di sini?” Mamamenghela napas sekejap, lantas di kejap berikut­nya, tanpa menunggujawabanku, sudah gesit mengangkat roti dari pemanggang, masihbersungut-sungut. Celemeknya terlihat miring, ada satu-dua noda yangtidak hilang setelah dicuci ber­kali-kali. Rambut di dahinya berantakan,menutupi pelipis. Mama gesit sekali bekerja. ”Ra sudah dari tadi duduk di sini kok. Mama saja yang nggak lihat.”Aku menuangkan susu ke gelas. ”Beneran.” ”Berhenti menggoda mamamu, Ra.” Papa memperbaiki dasi,me­narik kursi, duduk, lalu tersenyum. ”Mamamu itu selalu tidakmem­perhatikan sekitar, sejak kamu kecil. Selalu begitu.” Aku membalas senyum Papa dengan senyum tanggung. Itu adalah penjelasan sederhana Papa atas keanehan keluarga kamisejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak permainan petak umpet yangtidak seru. Sesimpel itu. Mama tidak memperhatikan sekitar dengan kalau aku sedang bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atausedang iseng, aku menutupi wajahku dengan telapak tangan, menghilang. “Bumi” 5 Seperti pagi ini, Mama ber­teriak membangunkan Papa danmeneriakiku agar bergegas. Mama sibuk memulai hari, menyiapkansarapan, dan membereskan kamar. Mama selalu begitu, terlihat dari peraturannya aku benci peraturan-peraturan Mama yangkalau dibukukan bisa setebal novel Mama ibu rumah tangga yang hebat,cekat­an, mengurus semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpapembantu. Dulu, sambil menunggu Papa turun bergabung ke meja makan, akusuka memperhatikan Mama bekerja di dapur. Tentu saja kalau aku hanyaduduk bengong menonton, paling bertahan tiga detik, sebelum Mamasegera melemparkan celemek, me­nyuruhku membantu. Jadi, untukmenghindari disuruh mencuci wajan dan sebagainya, aku iseng”menonton” sambil bertopang tangan di meja dengan kedua telapaktangan menutupi wajah, membuat tubuhku menghilang sempurna,mengintip Mama yang sibuk bekerja. Mama sibuk meneriakiku, ”Raaa! Turun, sudah siang.” Lantas diamengomel sendiri, bicara dengan wajan panas di depannya, ”Anak gadisremaja sekarang selalu bangun kesiangan. Alangkah susah mendidikanak itu.” Lantas dia menoleh lagi ke atas, ke anak tangga, berteriak,”Papaaa! Turun, sudah jam enam lewat. Bukankah ada rapat penting dikantor?” Lantas dia mengomel lagi sendirian, bicara dengan wajan panaslagi, sambil membalik omelet, ”Kalau mandi selalu saja lama. Contoh yangburuk. Bagai­mana­ Ra akan bisa tangkas mengerjakan pekerjaan rumahkalau papanya juga selalu santai. Anak sama papa sama sajakelaku­an­nya.” Dulu aku suka tertawa melihat Mama mengomel sendiri. Lucusekali. Aku mengintip dari balik jari, bersembunyi, sambil menguapkarena masih mengantuk walau telah mandi. Aku bisa bermenit-menitdiam, bertopang tangan, menonton Mama. Itu mem­buatku tidak perlubekerja pagi-pagi membantunya, sekali­gus tahu banyak rahasia,misalnya apakah aku jadi dibelikan se­peda atau tidak, apa hadiah ulangtahunku besok, dan sebagai­nya. Sekarang serunya hanya sedikit, tidak sesering dulu. Sejak usiabelasan aku lebih dari tahu tanggung jawabku. Sekali-dua kali sajaisengku kambuh. Seperti pagi ini, aku sebenarnya sudah sejak tadi turun “Bumi” 6dari lantai dua rumah kami, rapi mengenakan seragam sekolah,bergabung di meja makan. Tetapi karena bosan menunggu Papa turun,daripada disuruh-suruh Mama, aku me­mutuskan ”bersembunyi”, isengmenonton. ”Kamu sudah lama menunggu, Ra?” Papa bertanya, meng­ambilkoran pagi. ”Papa tahu tidak, tarif air PAM sekarang naik dua kali lipat?” Mamalebih dulu memotong, berseru soal lain. Tangannya cekatanme­mindahkan omelet ke atas piring. ”Oh ya?” Papa yang mulai membuka koran pagi mengangkat wajah. ”Itu artinya Papa jangan mandi lama-lama,” aku menyikut Papa,berbisik pelan, membantu menjelaskan maksud celetukan Mama. Papa ber-oh sebentar, tertawa, mengedipkan mata, pura-puramengernyit tidak bersalah. ”Siapa sih yang mandi lama-lama?” ”Memang selalu susah mengajak kalian bicara serius. Sudah­lah,mari kita sarapan,” Mama melotot, memotong kalimat Papa lagi, menarikkursi. Semua hidangan sarapan sudah tersedia di atas meja. ”Kamu mausarapan apa, Ra?” ”Omelet terlezat sedunia, Ma. Minumnya segelas susu ini,” akumenunjuk. Mama tertawa yang segera membuat wajah segarnya kem­bali. ”Nah, Papa mau apa?” ”Roti panggang penuh cinta,” Papa nyengir, meniru teladan­ku. ”Jangan gombal.” Mama melotot, meski di separuh wajahnyater­sungging senyum. ”Siapa yang gombal? Sekalian jus jeruk penuh kasih sayang.” Aku tertawa. ”Tentu saja gombal, Pa. Jelas-jelas itu hanya roti danjus jeruk.” “Bumi” 7 Mama tidak berkomentar, menuangkan jus jeruk, ikut tertawa,sedikit tersipu. Lantas Mama mengambil sisa makanan yang belumdiambil, meraih sendok dan garpu. Kami mulai sibuk dengan menumasing-masing. ”Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci,” Mama bicara di selamulut mengunyah. Papa menelan roti. ”Eh, sekarang rusak apanya?” ”Pengeringnya rusak, tidak bisa diisi penuh. Kadang malah tidakbergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Mama menyerah, Pa. Belibaru saja.” Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Itu lebih baik—daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolah baru­ku, bertanya ini,bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu, lantas membacakan sepuluhperaturan paling penting di keluarga kami. ”Mau Papa temani ke toko elektronik nanti malam?” Dua-tiga menit berlalu, mesin cuci masih jadi trending topic. ”Tidak usah. Nanti sore Mama bisa pergi sendiri. Sekalian menguruskeperluan lain. Paling minta ditemani Ra. Eh, Ra mau menemani Mama,kan?” Papa mengangguk takzim. Mama memang selalu bisa diandal­kan—tadi waktu bilang sudah diotak-atik, itu bahkan berarti Mama sudahberprofesi setengah montir amatir. Aku juga meng­angguk sekilas, asyikmengunyah ”omelet terlezat sedunia”. Ponsel Papa tiba-tiba bergetar, menghentikan sarapan. Papa menyambar ponselnya, melihat sekilas nama di layar. Aku danMama bertatapan. ”Ya, halo.” Papa bicara sejenak, lantas menjawab pendek-pen­dek,ya, oke, baik, ya, oke, baik. Papa meletakkan ponsel sambil menghelanapas panjang. “Bumi” 8 ”Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskansarapan bersama. Tiga puluh menit lagi Papa harus segera ada di Direktur memanggil.” Tuan Direktur? Aku menepuk jidat. Selalu begitu. Papa tertawa. ”Ayolah, Papa harus bergegas, Ra. Papa janji, Ma,gantinya kita makan malam bersama nanti.” Mama menghela napas tipis. Kecewa. Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapanku yang belumsepertiga nasibku sama dengan banyak remaja lain, ha­rus berangkat kesekolah bersama orangtua. Mereka buru-buru, maka aku ikut telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok, beranjakberdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan keperluansekolah. ”Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa.” ”Tentu saja. Bila perlu, Papa akan sarapan sambil rapat denganTuan Direktur. Itu pasti akan menarik.” Papa mengedip­kan mata,bergurau. Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah. ”Papatidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita sarapan selalupenting.” Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama tersenyum. Papa memang sedang berada di titik paling penting karierpekerjaannya—setidaknya demikian kalau Papa menjelaskan kenapa diaharus pulang larut malam, kenapa dia harus bergegas pagi-pagi sekali.”Papa harus berhasil melewati fase ini dengan baik, Ra. Sekali Papaberhasil memenangkan hati pemilik per­usahaan, karier Papa akanmelesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih tinggi. Keluarga kita haruskompak mendukung, termasuk kamu. Toh pada akhirnya kamu juga yangdiuntungkan. Mau liburan ke mana? Mau beli apa? Semua beres.” Aku hanya bisa meng­angguk, setengah paham soal jalan-jalanatau belanja, se­tengah tidak soal memenangkan hati pemilikperusahaan. “Bumi” 9 ”Dasi Papa miring.” Mama menunjuk, beranjak mendekat,memperbaiki. ”Terima kasih.” Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan.”Celemek Mama juga miring.” Papa ikut memperbaiki, meski sekali lagimelirik pergelangan tangan. ”Jangan pulang larut malam, Pa.” ”Mama lupa ya? Kan tadi Papa bilang nanti malam kita makanmalam bersama. Spesial. Tidak akan terlambat.” Papa men­dongak.”Alangkah lamanya anak itu mengambil tas se­ko­lah.” ”Tentu saja.” ”Tentu saja apanya?” ”Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melaku­kansesuatu, dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu.” Mamatersenyum simpul. ”Oh, itu entahlah meniru siapa.” Papa pura-pura tidak me­ngerti,sambil ketiga kalinya melirik jam tangan. ”Yang Papa tahu, anak itucantiknya meniru siapa.” Mama tersipu. Mereka berdua tertawa. Papa melihat jamnya lagi, mengeluh. ”Lima menit? Lama sekalianak itu mengambil…” ”Ra sudah selesai dari tadi kok.” Aku nyengir, menurunkan telapaktangan. ”Eh? Ra?” Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku tiba-tibasudah berdiri di anak tangga terakhir. ”Bagaimana kamu sudah ada disana? Kamu selalu saja mengejutkan orang­tua.” Papa bersungut-sungut,meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas. ”Jangan menggoda papamu, Ra. Dia selalu saja tidakmem­per­hatikan. Sejak kamu kecil malah.” Sekarang giliran Mama yangmenggunakan kalimat itu, tersenyum. “Bumi” 10 Aku tersenyum tanggung membalas senyum Mama. Itu juga menjadi penjelasan sederhana Mama atas keanehankeluarga kami sejak usiaku dua puluh dua bulan. Sejak per­main­anpetak umpet. Sesimpel itu. Papa tidak memperhatikan sekitar denganbaik. Padahal, kalau aku lagi bosan, tidak mau dilihat siapa pun, atausedang iseng, aku tinggal menutupi wajah dengan kedua telapak tangan,menghilang. Seperti pagi ini, aku iseng ingin melihat percakapan akraborangtuaku. Sudah sejak tadi aku turun mengambil tas, berdiri di anaktangga paling bawah de­ngan kedua telapak tangan menutupi wajah,mengintip wajah me­reka yang saling tersipu. Baik dulu maupunsekarang, itu selalu seru. ”Ayo berangkat.” Papa berjalan lebih dulu. Aku mengangguk. ”Jangan lupa sarapan lagi di sekolah, Ra.” ”Ra tidak akan lupa, Ma. Peraturan ketujuh keluarga kita sarapanselalu penting.” Aku mengangkat tangan, hormat. Mama mengacak poni rambutku. Lima menit kemudian, mobil yang Papa kemudikan sudah melesatdi jalanan. Pagi itu aku sungguh tidak tahu, setelah sarapan bersamayang selalu menyenangkan, beberapa jam lagi, kejutan itu tiba. Ada yangtahu rahasia besarku, bukan hanya satu, melainkan kehidupanku mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Perang besar siap meletus di Bumi. Aku tidak bergurau. “Bumi” 11 ERIMIS turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papamengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Akumenatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan. ”Kamu nanti pulang sore?” Papa bertanya, tangannya menekanklakson, ada angkutan umum mengetem sembarangan, meng­hambat lalulintas pagi yang mulai macet di depan. ”Tidak ada les, Pa. Ra langsung pulang dari sekolah,” akumen­jawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap. ”Oh. Berarti kamu bisa ya, menemani Mama ke toko elektronik?” Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin. ”Mesin cuci itu. Kamu pernah memikirkannya, Ra?” Papa sepertinyamasih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi. Ia menekanklakson, menyuruh dua motor di depan yang sembarangan menyelip ditengah kemacetan agar menyingkir. ”Ya?” Aku ikut menatap ke depan. ”Usianya sudah lima tahun, bukan?” Papa tertawa kecil,mem­bayangkan sekaligus berhitung. ”Ya?” ”Kamu tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaiansebanyak dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebihdari potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, mintadiganti. Hebat, bukan?” Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja kami lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutanumum dan beberapa pekerja kantoran. Lampu kendara­an menyala, “Bumi” 12kedip-kedip. Beberapa pedagang asongan berdiri dan seorang pengamenmembiarkan gitarnya tersampir di pun­dak. Pemandangan yang biasasebenarnya, tapi hujan gerimis membuat suasana terlihat berbeda. ”Konsisten. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yanglebih tepat. Kamu tahu, Ra, persisten membuat kita bisa melakukan halhebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapidalam waktu lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba kamu potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruhdepartment store besar.” Papa tertawa lagi. Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalusuka ”menasihatiku” dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara halunik pada pagi yang basah menuju sekolah ini. Mungkin orangtuakebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajakanak-anak remajanya bicara se­suatu, menasihati, dan berharap kalimat-kalimat itu bekerja baik—meskipun hanya urusan mesin cuci. Terlepasdari kesibuk­annya—juga topik pembicaraan yang kadang tidakme­nyambung dengan situasi—bagiku Papa menyenangkan. Dia se­laluada saat aku butuh seorang papa. ”Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagiyang hebat.” ”Oh ya?” Aku memperhatikan wajah Papa yang riang. ”Coba kamu hitung. Jika setiap hari Mama mencuci lima potongpakaianmu, maka selama lima belas tahun terakhir, di­hitung sejak kamubayi, itu jumlahnya sekitar, eh, potong lebih. Atau, untuk Papa,tujuh belas tahun sejak menikah, angka­nya lebih banyak lagi. potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan? Total potonglebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry ke kita ya, Ra?Kalau satu potong Mama tarik seribu perak saja, wuih, banyak sekalitagih­annya.” Papa tertawa. Aku ikut tertawa, mengangguk. Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hinggamobil yang dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. Gerimismenderas, para siswa yang satu sekolah denganku ber­hamburan turun “Bumi” 13dari angkutan umum, mobil pribadi, motor, atau jalan kaki. Merekabergegas masuk menuju bangunan yang kering. ”Kamu bawa saja payungnya, Ra.” Papa menoleh, menunjuk kebelakang. ”Tenang saja, di kantor nanti Papa bisa minta tolong satpammem­bawakan payung ke parkiran. Atau menyuruh siapalah untukme­markirkan mobil.” Papa seakan mengerti apa yang kupikir­kan. Tanpa banyak bicara, aku meraih payung di belakang kursi,mencium tangan Papa, membuka pintu mobil, lalu beranjak turun.”Dadah, Papa!” ”Dadah, Ra!” Aku menutup pintu mobil. Dua detik kemudian, mobil Papa kembalimasuk ke jalanan. Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhilangit. Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awanhitam terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata me­ terlihat begitu suram. Terlihat sepertimenyembunyikan sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan. Semakinlebat, semakin seru. Aku membayangkan awan-awan gelap itu dan berdiridi antaranya. Dulu waktu usiaku masih empat-lima tahun, setiap kali hujan akuselalu memaksa bermain di halaman. Sesekali Mama mengizinkan malahmenawari. Itu permainan kedua yang kukenal, setelah petak umpet yangberakhir membosankan. Aku berlari melintasi rumput yang basah,menggoyang dahan pohon mangga yang menjatuhkan airnya dari daun,menduduki lumpur, me­lempar sesuatu, menendang sesuatu, dan tertawagembira. Itu selalu seru. Sayangnya, Mama memiliki definisi ketat soal main hujan-hujanan.”Masuk, Ra, sudah setengah jam. Cukup.” Aku menggeleng, tidak mau.”Ra, tanganmu sudah biru kedinginan. Masuk. Besok kan bisa lagi.”Mama melotot—Papa mengamini, juga menyuruhku masuk. Aku kalahsuara, dua banding satu. Aku merengut, terpaksa menerima uluranhanduk kering. Atau, ”Aduh, Ra, kan baru kemarin kamu main hujan-hujanan?” Mama menggeleng tegas. ”Sebentar saja, Ma. Kan kata Mama “Bumi” 14besok bisa main lagi,” kilahku. Mama tetap menggeleng. ”Lima menit?”Tidak. ”Tiga menit?” Tidak. Seberapa pun aku merajuk, me­nangis,jawaban Mama tetap tidak Papa mengamini. Aku kalah suara lagi,dikurung dalam rumah. Usiaku baru empat-lima tahun. Rambutku masih tampak lucudikepang dua oleh Mama. Aku hanya bisa protes dalam hati, bukan­kahkemarin-kemarin Mama yang menyuruhku main hujan-hujanan, kenapajadinya sekarang dibatasi banyak peratur­an? Karena itu, rasanya senangsekali saat aku dapat izin bermain hujan-hujan­an. Aku berlari ke sanakemari dan mem­bujuk dua kucingku agar ikut bermain air kucingkumengeong panik, lari masuk ke dalam rumah. Aku tertawa, membiarkantubuhku kotor oleh lumpur. Akhirnya setelah lelah, aku duduk dihalaman, mendongak menatap langit gelap. Awan hitam. Akumem­bayangkan apa yang sedang berkecamuk di awan-awan itu. Tetes air hujan deras menerpa wajahku. Aku meletakkan telapaktanganku, berusaha melindungi mata. Saat itu aku belum tahu, masihterlalu kecil. Tepat saat telapak tanganku melindungi wajah, seluruhtubuhku hilang begitu saja. Tubuhku menjadi lebih bening dibandingkristal air, menjadi lebih transparan di­banding tetes air. Aku asyikmendongak menatap langit, belum me­nyadari bahwa jutaan tetes airhujan itu hanya melewati tubuh­ku, tidak pecah saat mengenai wajah. Inimain hujan yang me­nyenangkan, melamun menatap langit langsung dibawah tetes air dan yang lebih penting lagi, setiap kali aku dudukber­simpuh di rumput halaman, mendongak melindungi wajah de­ngantelapak tangan, entah bagaimana caranya, aku bisa bermain hujan lebihlama. Mama di dalam rumah hanya sibuk mengomel mencariku, bukanmeneriakiku agar bergegas masuk. ”Pagi, Ra,” Seli, teman satu mejaku, berseru membuyarkanlamunanku. Kepalaku yang mendongak menoleh. ”Kenapa kamu bengong di sini, Ra?” Seli tertawa riang. Dia baruturun dari mobil yang mengantarnya, mengembangkan payung berwarnapink. “Bumi” 15 ”Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel.” Aku menyeka wajah yang basaholeh gerimis. ”Cepat, Ra, sebentar lagi bel.” Seli sudah berlari-lari kecil melintasigerbang sekolah. Aku mengembangkan payungku, menyusul langkah Seli,me­nyejajarinya. ”Kamu sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?” Seli me­noleh,wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika akumenjawab tidak. Aku tertawa. ”Sudah dong.” ”Oh, syukurlah.” Seli ikut menghela napas lega. ”Aku baru tadisubuh menyelesaikannya. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyiknonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang tidakmengerjakan PR-nya lagi. Iya kalau cuma dimarahi, kalau disuruh berdiridi dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, bukan?” Aku tidak berkomentar, menguncupkan payung. Kami sudah tiba dibangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Kelassepuluh terletak di lantai dua bangunan sekolah. Bel berdering persis saatkami hendak naik tangga, mem­buyar­kan dengung suara keramaiananak-anak bercampur suara ge­rimis. Sialnya, saat bergegas menaikianak tangga, Seli ber­tabrak­an dengan teman lain yang juga bergegas. ”Heh, lihat-lihat dong!” Seli berseru ketus. ”Kamu yang seharusnya lihat!” yang ditabrak balas berseru ketus. ”Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?” Seli melotot. ”Duluan dari mana? Aku lebih cepat.” ”Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!” suaraSeli melengking. Aku menyikut Seli, memberi kode, cueki saja. Pertama, ka­renasudah bel, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di “Bumi” 16lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kami tidak akanmerusak mood pagi yang menyenangkan dengan ber­tengkar dengan Aliteman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah. Lihatlah, Alihanya cengar-cengir, tidak peduli. Dia sejenak menatap Seli, lantasbergegas menaiki sisa anak tangga. Dia sama sekali tidak merasabersalah. ”Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Jangan-jangan matanya ditaruh di dengkul,” Seli mengomel pelan, menepuklengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga. Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dariruang guru, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambatsaat pelajaran dimulai. ”Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel,” aku berbisik,menahan tawa. ”Memangnya di mana?” ”Di pantat kayaknya.” Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-larimelintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anaklain sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihatmenggaruk kepala. Seperti biasa, kemeja se­ragam­nya berantakan,dimasukkan separuh. Aku hanya melihat selintas—paling juga si biangkerok itu sedang mencari buku PR-nya. Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba dipintu kelas. Dalam satu bulan, semua murid baru sekolah ini tahu dialahguru paling galak di sekolah. Wajahnya jarang tersenyum, suaranya tegas,dan hukumannya selalu mem­buat murid merasa malu. Aku sebenarnyatidak punya masalah dengan guru galak, tapi itu tetap bukan kabar baikbagiku, karena Miss Keriting mengajar matematika, pelajaran yang tidakterlalu kukuasai. ”Pagi, anak-anak,” Miss Keriting memecah suara hujan. Kami menjawab salam. “Bumi” 17 ”Keluarkan buku PR kalian. Sekarang.” Kalimat standar pembukapelajaran Miss Keriting. Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Akuseketika tertegun. Di mana buku PR matematikaku? Aduh, ini sepertinyaakan menjadi pagi yang buruk. Aku me­numpahkan buku dari dalam tas. ”Ada apa, Ra?” Seli bertanya. Aku tidak menjawab, berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal dikamar. Aku menyeka dahi, gerah. Aku ingat sekali tadi malam sudahmengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja. Tadi pagi, saatPapa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya. ”Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibuperiksa.” Suara tegas Miss Keriting membuatku meng­hela napastertahan. ”Ayo, maju. Sekarang!” Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami. Aku menggigit bibir. Mau apa lagi? Aku melangkah ke de­pan. ”Ra?” Seli menatapku bingung. Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapanteman-teman. ”Kamu tidak mengerjakan PR, Ra?” Miss Keriting menatapku tajam. ”Saya mengerjakan PR, Bu.” ”Lantas kenapa kamu maju ke depan?” ”Saya lupa membawa bukunya.” Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja, lalu terdiam saatMiss Keriting mengangkat tangan. Miss Keriting menatapku lamat-lamat. ”Itu sama saja dengan tidakmengerjakan PR. Dengan amat menyesal, kamu terpaksa Ibu keluarkandari kelas. Kamu menunggu di lorong selama pelajaran Suara Miss Keriting sebenarnya tidak menunjukkan intonasi “Bumi” 18”menyesal”, karena sedetik kemudian, saat aku mengangguk pelan, diakem­bali sibuk menatap teman-teman lain, tidak peduli, mem­biar­kankuberanjak gontai ke bingkai pintu kelas. Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengarmeng­gelegar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin danlembap. Aku melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik dilorong. Nasib, aku menghela napas sebal. Padahal aku sudah susahpayah mengerjakan PR itu. Aku melirik jam di pergelangan tangan, masihdua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai. Sendirian dilorong yang tempias, basah. Itu bukan hukuman yang menyenangkanmeski dibandingkan berdiri di depan kelas ditonton teman-teman. Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kalimenyambar, membuat gumpalan awan hitam terlihat memerahsepersekian detik, seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitamitu. Guntur bergemuruh membuat ngilu telinga. Aku menghela napas,suasana hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripadabiasanya. Ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramaiteman sekelas, Ali juga dikeluarkan Miss Keriting. Ali bertahan beberapamenit, mengaku sudah mengerjakan PR, tapi belum selesai. Diamemperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. MissKeriting tanpa ampun juga ”mengusirnya”. Aku mengeluh melihat Alimelangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yanglengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya dilorong? Aku me­nyeka dahi yang berkeringat—yang membuatkumelupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahaldingin udara terasa mencekam. Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama si biang kerokitu. Itu situasi yang tidak menarik, menyebalkan malah. Baiklah,se­belum Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapaktanganku, meletakkannya di wajah. Petir mendadak menyambar terang sekali, membuatku terperanjat,mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerak­an tanganku “Bumi” 19menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di lapangansekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera menghilangsempurna saat telapak tanganku menutupi wajah. Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,mem­per­hatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar mung­kinsedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan. Diamengomel sendirian, melintasiku. ”Dasar guru sok galak. Tidak tahu apa,tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.” Akumenahan tawa melihat tampang sebal anak lelaki itu. Aku hendak isengmenambahi kesalnya dengan mengait kakinya. ”Halo, Gadis Kecil.” Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambarterang sekali. Sosok tinggi kurus itu entah dari mana datangnya telahberdiri di depanku. Matanya menatap memesona. “Bumi” 20 EMI mendengar sapaan suara dingin itu dan menatap sosokkurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba-tiba telah berdiri persisdi depanku—aku berseru tertahan, kaget, kehilangan keseimbangan,refleks berusaha meraih pegangan di dinding kelas. Saat telapaktanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali itu cepat sekali. Saat aku berhasil menyeimbangkan tubuh,mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba-tibamenyapaku, sosok tinggi kurus itu telah lenyap, me­nyisa­kan hujanderas sejauh mata memandang. Angin kencang mem­buat bendera dilapangan sekolah berkelepak. Tempias air me­ngenai lorong lantai duatepercik ke wajahku yang setengah pucat. Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihatsosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bah­kan akuingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke manakah diasekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksasemua kemungkinan. Aku hendak ber­anjak mendekati tepi lorong, tidakpeduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku. ”Hei, Ra, apa yang barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuatkakiku berhenti. Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat dibelakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresiwajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik ekspresi wajahku pasti sebaliknya. ”Bagaimana caranya kamu tiba-tiba muncul di sini?” Ali mendekat,wajahnya menyelidik. Aku mengeluh dalam hati, melangkah mundur ke dinding pula urusan ini harus terjadi dalam waktu ber­samaan? Kenapapula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah “Bumi” 21mati siapa sosok tinggi kurus tadi? Aku bahkan sempat berpikir, jangan-jangan sosok itu hanya bisa kulihat jika aku menangkupkan keduatelapak ta­ngan ke wajah. Aku hendak bergegas kembali menutup matasebelum sosok itu pergi, tapi itu tidak mungkin kulakukan dengantatap­an mata Ali yang penuh rasa ingin tahu. ”Apa yang kamu lakukan barusan, Ra?” Ali bahkan sekarangmenyelidik seluruh tubuhku. ”Aku yakin sekali, kamu tadi tidak ada disini. Lorong ini kosong. Kamu tiba-tiba muncul di sini. Iya, kan? Inimenarik sekali.” ”Apanya yang menarik?” Aku membalas tatapan menyelidik Ali,pura-pura tidak mengerti. ”Kamu jangan pura-pura tidak mengerti, Ra,” Ali tidak mudahpercaya. ”Aku dari tadi memang di sini. Apanya yang pura-pura?” akuakhirnya berseru ketus. ”Kamu tidak bisa membohongiku.” Ali nyengir lebar. ”Aku me­mangpemalas, tapi aku tidak bodoh. Bahkan sebenarnya, kamu tahu, sebagiankecil para pemalas di dunia ini adalah orang-orang genius. Aku yakinseratus persen kamu tadi tidak ada di sana. Tidak ada siapa pun dilorong. Lantas petir me­nyambar, kamu tiba-tiba ada di sana. Tiba-tibamuncul. Aku yakin sekali.” Aku mengeluh dalam hati, masih berusaha membalas tatapan Alidengan pura-pura tidak paham. Urusan ini bisa panjang. Ali benar. Diamemang terlihat pemalas, urakan, suka bertengkar, tapi dalam pelajarantertentu dia bisa membuat guru-guru ter­diam hanya karena pertanyaanmasa bodohnya. ”Bagaimana kamu melakukannya?” ”Aku tidak melakukan apa pun.” ”Kamu jangan bohong, Ra.” Ali menatapku seperti sedang menatapanak kecil yang tertangkap basah mencuri permen tidak bisa menghindar. “Bumi” 22 ”Siapa yang berbohong!” aku berseru ketus sebenarnya separuhsuaraku terdengar cemas. ”Ali! Ra!” Suara tegas Miss Keriting menyelamatkanku. Kami serempak menoleh. ”Suara percakapan superpenting kalian mengganggu pelajaran.”Miss Keriting melotot, berdiri di bawah bingkai pintu kelas, tangannyamemegang penggaris kayu panjang. ”Sekali lagi kalian bercakap-cakapterlalu kencang, Ibu kirim kalian ke ruang BP, dan semoga ada yangmenyelamatkan kalian dari pemanggilan orangtua ke sekolah.” Mulut Ali yang hendak mencecarku dengan banyak pertanya­anterpaksa bungkam. Dia menunduk, mengusap-usap rambut­nya yangberantakan. Aku juga menunduk. ”Benar-benar brilian. Sudah tidak membuat PR, berteriak-teriakpula di lorong kelas. Pasangan paling serasi pagi ini.” Miss Keritingkembali masuk setelah memastikan kami diam beberapa detik. Teman-teman sekelas yang ikut melihat ke luar tertawa ramai, lalu diam kembalisaat Miss Keriting menunjuk papan tulis. Suara Miss Keriting terdengar samar di antara suara hujan derasyang mengguyur sekolah. Aku masih penasaran siapa sosok tinggi kurusyang tiba-tiba muncul di depanku tadi. Aku meme­riksa sekitar, berusahamengabaikan Ali yang terus menatapku. Tidak ada. Sosok itu benar-benarsudah pergi. Mungkin aku bisa pura-pura ke toilet sebentar, meninggalkan Ali,menutup wajah di sana, lantas berjalan kembali ke lorong lantai begitu aku bisa mencari sosok tinggi kurus itu, sekaligus jugabisa menghilang dari si biang kerok ini. Tetapi itu ide buruk. Ali yangpenasaran, bahkan sangat pe­nasaran, pasti akan mengikuti ke manapun aku pergi, dan dia bisa mengacaukan banyak hal. Miss Keriting,dengan kejadian ribut barusan, bisa kapan pun memeriksa lorong lantaidua lagi, memastikan kami patuh pada hukumannya. Aku mendongak, menatap siluet petir yang kembali guntur bergemuruh. Sepertinya pagi ini aku benar-benar akan “Bumi” 23menghabiskan dua jam bersama biang kerok ini. Baiklah, akumemutuskan duduk bersandar di dinding kelas, berusaha lebih santai,menghela napas pelan. ”Hei, Ra?” Ali berbisik. Aku melirik dengan ujung mata, dia ternyata ikut duduk, tigalangkah dariku. ”Kamu bisa menghilang, ya?” Ali berbisik lagi, berusaha tidakmem­buat keributan baru, matanya berbinar oleh rasa ingin tahu. Aku mengabaikan Ali, kembali menatap hujan. ”Ini hebat, Ra. Dari dulu aku selalu yakin ada orang yang bisamelakukan itu. Tidak hanya di film-film.” Ali bahkan tidak merasa perlumenunggu jawabanku. ”Kamu gila,” aku kembali menoleh, melotot, balas berbisik. ”Apanya yang gila?” ”Tidak ada yang bisa menghilang.” ”Banyak yang bisa menghilang, Ra. Banyak yang tidak terlihat olehmata, tapi sebenarnya ada.” Ali mengangkat bahu. ”Tidak ada yang tidak terlihat oleh mata,” aku bersikukuh, mulaisebal. ”Kecuali yang kamu maksudkan hantu-hantu, cerita-cerita seramitu.” ”Kata siapa tidak ada?” Ali nyengir. ”Dan jelas maksudku bukanhantu-hantu itu. Coba, lihat.” Tangan Ali menggapai ke depan. ”Setiaphari, setiap detik, kita selalu hidup dengan sesuatu yang tidak terlihatoleh mata. Udara. Kamu bernapas dengannya, tanpa pernah berpikirseperti apa wujud asli udara. Apakah udara seperti kabut? Seperti uap?Apa itu oksigen? Bentuknya seperti apa? Kotak? Lonjong?” Aku mengeluh pelan, semua orang juga tahu, Ali pendebat yangbaik. “Bumi” 24 ”Bahkan, kamu tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak ter­lihat.”Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenaiujung mata. ”Jika kamu terlalu kecil atau sebalik­nya terlalu besar dariyang melihat, kamu bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut,misalnya, kamu coba saja lihat semut yang ada di lapangan sekolah darilantai dua ini, dia meng­hilang karena terlalu kecil untuk Bumi, misalnya, karena bola Bumi terlalu besar, tidak adayang bisa melihatnya benar-benar mengambang mengitari matahari. Kitahanya tahu dia mengambang lewat gambar, televisi, tapi tidak pernahmelihat dengan mata kepala sendiri. Tidak terlihat dalam definisi lain.” ”Sok tahu,” aku berbisik ketus. Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya tepatnyatidak tertarik bertengkar seperti biasanya. ”Aku tahu sekali, Ra. membaca lebih banyak dibanding siapa pun di sekolah ini. TermasukMiss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematikapenting katanya, puh, itu mudah saja. Bahkan kalau sekarang masih disekolah dasar, aku bisa mengerjakan PR itu. Kamu sungguhan bisamenghilang ya, Ra?” Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa me­mancingMiss Keriting keluar. Aku segera menurunkan volume suara, menjawabdatar. ”T-i-d-a-k.” ”Kamu justru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kamu bisamenghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan bahasa tubuh.”Terima kasih, Ra. Itu berarti aku tidak seaneh yang sering orangtuakukatakan.” Aku mengembuskan napas sebal. Sudah kujawab tidak, Ali tetapmenganggap aku menjawab iya. Aku kembali menatap hujan, memutuskan menyerah me­nanggapirasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya telah keliru, bukan hanya dua jampagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok seharian ini, bahkan besok-besok­nya lagi, dia akan terustertarik mengikutiku, me­mastikan. “Bumi” 25 Hujan deras terus mengguyur sekolah, Seli dan teman-teman yanglain pasti sedang pusing mengikuti pelajaran Miss Keriting di dalam kelasyang kering, sama pusingnya dengan aku menghadapi Ali di lorong yangtempias basah. “Bumi” 26 ASANGAN serasi.” Seli memajukan bibir, menahan tawa. Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awassaja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini. ”Bercanda, Ra.” Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan,separuh masih menahan tawa. ”Miss Keriting memang sok galak,menyebalkan, banyak ngasih PR, tapi itu yang aku suka darinya. Diaselalu telak menyindir orang. Pasangan paling serasi pagi ini. Hehehe. Eh,lagian kenapa pula kalian harus berteriak-teriak di lorong, membuatsemua teman sekelas menoleh ingin tahu,” Seli membela diri, berusahaberlindung dari lemparan sedotan. Bel istirahat pertama sudah bernyanyi lima menit lalu. Hujan derassudah reda, menyisakan rintik kecil yang bisa dilewati tanpa terlalumembuat basah. Udara dingin dan lembap. Seli mengajakku ke kantin,menghabiskan semangkuk bakso dan segelas air jeruk hangat, pilihanyang baik dalam suasana se­perti ini. Seli bilang dia yang traktir. Akuawalnya tidak ter­tarik. Se­telah dua jam lebih saling ngototmenghabiskan waktu bersama Ali, yang membuat mood-­ku hilang, akusebenarnya lebih tertarik menghabiskan waktu sendirian di kelas, dudukdi kursi, me­mikirkan siapa si tinggi kurus itu. Apakah itu hanyaimajinasiku karena belasan tahun menyimpan rahasia? Tetapi melirikgelagat Ali yang juga akan ikut menghabiskan waktu di kelas,menye­lidikiku, aku menerima tawaran Seli. ”Kalian sebenarnya membicarakan apa sih? Sampai bertengkarbegitu?” Sayangnya Seli yang sambil ber-hah kepedasan meng­habiskansemangkuk baksonya seperti kehabisan ide percakapan selain tentangkejadian di lorong kelas. ”Tidak membicarakan apa pun.” Aku malas menanggapi. ”Masa iya?” Seli menyelidik. ”Sampai bertengkar begitu.” “Bumi” 27 ”Siapa yang bertengkar? Dia saja yang selalu menyebalkan. Mencarimasalah,” aku mengarang jawaban. ”Eh, kalian tidak sedang membicarakan PR matematika, kan?Mengerjakan PR di lorong tadi?” Seli tertawa dengan kalimatnya sendiri. Aku melotot, mengancam Seli dengan bola bakso. ”Bercanda, Ra. Kamu sensitif sekali pagi ini. Aku saja yang diatabrak tadi di anak tangga nggak ilfil. Biasa saja.” Seli nyengir tanpa dosa. Semangkuk bakso kantin ini lumayan lezat, apalagi saat udaradingin, tapi topik pembicaraan ini memengaruhi lidahku. Apalagi menatapwajah jail Seli. ”Kamu tahu, Ra,” Seli tiba-tiba berbisik, menurunkan volume suara,di tengah ingar-bingar kantin yang dipenuhi teman-teman sekolah, yangcepat merasa keroncongan saat udara dingin begini. ”Tahu apanya?” Aku tidak semangat menatap wajah penuh rahasiaSeli. ”Ali pernah ikut seleksi Olimpiade Fisika,” Seli masih ber­bisik. ”Terus apa pentingnya?” Aku mengangkat bahu tidak peduli. ”Dia peserta seleksi olimpiade paling muda sepanjang sejarah, itu dia masih kelas delapan. Dia nyaris masuk dalam tim yangdikirim ke entah apa nama negaranya, Uzbekistan kalau tidak salah. Diatermasuk enam siswa paling pintar, genius malah. Itu penting sekali,bukan?” Seli ber-hah kepedasan, meraih botol kecap. ”Tapi si biang kerokitu batal dikirim. Pada minggu ter­akhir seleksi, dia meledakkanlaboratorium fisika tempat karantina peserta seleksi. Iseng melakukanpercobaan entah apa. Betul-betul meledak, Ra.” ”Dari mana kamu tahu itu?” aku basa-basi menanggapi. ”Perusahaan tempat papaku bekerja jadi sponsor utama timolimpiade itu, Ra. Kejadian itu dirahasiakan, wartawan hanya tahu timolimpiade pulang membawa beberapa emas dua minggu kemudian. Katapapaku, profesor pembimbing tim olimpiade tetap ngotot membawa Ali, “Bumi” 28bilang bahwa anak itu yang paling pintar. Dan menurut sang profesor,rasa ingin tahu kadang membuat seseorang nekat melakukan sesuatu,dan itu bisa di­maklumi, tapi panitia lokal menolaknya. Ali batal jadipeserta Olimpiade Fisika termuda sedunia.” Melihat wajah Seli yang semangat bercerita, aku setengah tidakpercaya, setengah hendak tertawa. Lihatlah, Seli berbisik seperti sedangmenceritakan kisah berkategori top secret—Seli sepertinya terlalu banyakmenonton serial Korea. ”Nah, Ali juga sudah empat kali pindah-pindah sekolah selamaSMP.” Seli mengambil sambal setengah sendok, tadi dia kebanyakanmenumpahkan kecap, membuat baksonya jadi terasa manis. ”Empat kali,Ra. Itu rekor.” ”Kamu tahu dari mana?” ”Kalau yang ini sih sudah rahasia umum.” Seli ber-hah ke­pedasanlagi, volume suaranya kembali normal. ”Semua anak di sekolah ini jugatahu. Kamu saja yang tidak memperhatikan, lebih suka menyendiri didalam kelas saat bel istirahat. Ali di­keluarkan dari sekolah, katanya sihkarena sering berkelahi.” Aku tidak tertarik dengan cerita Seli. Aku sedang menatap kasihantemanku itu. Lihatlah, dia sekarang menumpahkan kecap lagi. Sudahempat kali Seli bolak-balik menambahkan sambal dan kecap di mangkukbaksonya, membuat bening kuah bakso berubah hitam. ”Nah, saat penerimaan sekolah baru kemarin, banyak SMA yangmenolak menerimanya. Katanya sih bukan semata-mata karena dia seringberkelahi. Tapi seram saja.” Seli menyeka keringat di dahi. ”Seram apanya?” ”Seram kan kalau kamu harus menerima murid sepintar dia? Guru-guru kita saja sering grogi di kelas kalau dia mulai ber­tanya yang aneh-aneh. Kalau kamu dalam posisi harus mengajari anak sepintar dia, pastikamu salah tingkah. Horor dalam arti berbeda. Hanya Miss Keriting yangtidak peduli, bahkan tega menghukumnya.” Seli nyengir lebar. “Bumi” 29 Aku ber-oh pelan. Aku lebih tertarik menghabiskan bakso­ku. ”Sebenarnya sih... eh, tapi kamu jangan marah ya?” Seli tiba-tibaterlihat seperti menahan tawa. Apa lagi ini? Tanganku yang menyendok bakso terhenti. ”Tapi kamu jangan marah ya, Ra...,” Seli mengulangi. Aku menggeleng. ”Kenapa aku harus marah? Aku tidak pedulikamu cerita tentang si biang kerok itu.” ”Ali tuh sebenarnya termasuk gwi yeo wun...” Seli kini sungguh­antertawa. ”Gwi yeo wun?” Dahiku terlipat. ”Cute, Ra. Kalau saja dia lebih rapi, sikapnya lebih manis,rambutnya diurus, pasti mirip bintang serial Korea yang aku sekali dengan Ra yang manis dan berambut pan­jang.” Kali ini aku sungguhan menimpuk Seli dengan bola bakso. Selitertawa dan cekatan menghindar. Tapi gawat! Baksoku me­ngenai kepalaanak kelas dua belas! Kami terpaksa bergegas kabur dari kantin, sambilberteriak ke tukang bakso bahwa bayar­nya nanti-nanti. ”Kamu cari masalah, Ra. Cewek itu ketua geng cheerleader.” Seliberlari-lari kecil menarikku, berbisik sebal. Aku patah-patah mengikutilangkah kaki Seli, melewati keramaian kantin. Tadi itu jelas-jelas bukan salahku. Sasaranku kepala Seli, dan salahsiapa mereka duduk persis di belakang Seli? ”Semoga mereka tidak tahu kita yang melemparnya.” Seli nyengir.”Bakso yang kamu lempar telak mengenai kepalanya. Mereka pasti lagimarah-marah mencari tahu siapa yang me­lempar.” Kami bergegas kembali ke kelas. Ruangan kelas X-9 masih kosong,hanya ada Ali yang entah kenapa sedang berada di meja kami, sepertihabis melakukan sesuatu. Seli me­lotot, mengusir­nya. “Bumi” 30 Ali hanya mengangkat bahu, merasa tidak bersalah. ”Sejak kapanorang dilarang duduk di kursi mana saja saat istirahat?” dalihnya. Diabersiap mengajak bertengkar. Aku menyikut Seli, menyuruhnya tidak menanggapi Ali. Setidaknya, hingga bel sekolah berbunyi, tidak ada kejadian yangmembuatku tambah jengkel. Pelajaran bahasa, aku suka. Aku memasangwajah semringah selama pelajaran berlangsung. Sepertinya hampirseluruh teman sekelas menyukai guru bahasa kami. Dia persis sepertitutor acara berbahasa yang baik dan benar di siaran televisi nasional,pintar, tampan, dan pandai bergurau. Hanya Ali yang tampak kusut,dengan wajah tertekuk di pojokan kelas. Aku tertawa dalam hati,meliriknya, mengingat cerita Seli di kantin tadi—yang entah betul atautidak, mungkin Ali benci pelajaran ini karena tidak tahu bagian manayang bisa diledakkannya. Bel pulang sekolah bernyanyi kencang, dengung gaduh me­menuhiseluruh bangunan sekolah. Aku pulang naik angkutan umum bersamaSeli. Sayangnya, tiba di rumah aku menemukan masalah baru. Masalahdengan dua kucingku. Dan itu lebih serius dibanding kejadian tadi pagi disekolah dengan sosok tinggi kurus yang mendadak muncul kemudianhilang di depan mata­ku. “Bumi” 31 ISA hujan sepanjang pagi sudah menguap di jalanan saatangkot yang kutumpangi merapat di depan rumah. Seli bilang nanti diayang bayar. Aku mengangguk, lalu turun dari angkot. Aku berlari-lari di rumput halaman, membuka pintu depan,ber­teriak mengucap salam—suara Mama terdengar menjawab dari naik ke lantai dua, menuju kamarku, melempar tas sekolahsembarangan ke atas kasur. Mama yang sedang memasak di dapurmeneriakiku agar bergegas ganti baju, makan siang, dan tiga kami harus segera be­rangkat ke toko elektronik. Aku balasberteriak, ”Siap, Ma!” Aku tertawa riang. Jalan bersama Mama selalumenyenangkan. Hal pertama yang kulakukan kemudian adalah melongok ke sanakemari. Ini aneh sekali, biasanya dua kucingku sudah riang menyambutsaat aku masuk ke dalam rumah. Tapi tadi yang loncat dari balik pintuhanya si Putih. Si Hitam tidak kelihatan sama sekali. ”Hei, si Hitam mana, Put?” Si Putih seperti biasa menyundul-nyundul manja betisku,mengeong pelan. ”Kamu lihat di mana si Hitam, Put?” Aku lembut mengangkat­nyadengan kedua telapak tangan, memeluknya, terus memeriksa kamarsambil menggendong si Putih. Aduh, ke mana pula ku­cing­ku yang satulagi? Tidak ada di kamarku. Juga tidak ada di kamar lain lantai dua. Akuberanjak menuruni tangga, boleh jadi si Hitam sedang malas-malasan didapur, menghabiskan makanan. ”Kamu belum berganti pakaian, Ra?” Mama menegurku. Aku menggeleng, masih sibuk mencari. Si Hitam tidak ada di dapur. Tidak ada juga di bawah meja makan,di sebelah lemari, atau di tempat favoritnya selama ini. Aku menghela “Bumi” 32napas. Ini jarang sekali terjadi, bahkan seingatku tidak pernah ter­ kucing ”kembar”-ku ini selalu ber­sama-sama menyambut­ku. Selaluberdua ke mana-mana, ber­main berdua, kompak. ”Apa si Hitam sakit, Put?” Si Putih yang sedang kugendong hanya mengeong. Mata bulat­nyabekerjap-kerjap. Baiklah, aku beranjak memeriksa ruang tengah, ruangtamu, kamar mandi, bahkan garasi, apa pun tem­pat yang mungkin. Limamenit sia-sia, aku kembali masuk ke dapur. ”Kamu belum berganti pakaian, Ra? Ayo bergegas, kita tidak bisalama-lama di toko elektronik. Mama harus menyiapkan makan malam,papamu pulang lebih awal malam ini.” Mama me­natapku tidak tangannya yang sibuk mem­bereskan peralatan masak terhentisejenak, memperhatikanku yang sedang mencari sesuatu. Aku menggeleng. ”Kamu mencari apa sih, Ra?” ”Ma, lihat si Hitam?” ”Si Hitam? Bukannya kamu sedang menggendong kucingke­sayanganmu?” ”Bukan yang ini, Ma. Satunya lagi.” ”Satunya lagi apa?” ”Iya, kucing Ra yang satunya lagi, Mama nggak lihat?” ”Aduh, Mama nggak ngerti deh. Kamu jangan aneh-aneh lagi kayakwaktu SD dulu. Jelas-jelas sejak dulu hanya ada satu kucing di rumahini.” Mama melotot, lantas sedetik kemudian t­angan­nya kembalimembereskan peralatan. ”Ayo cepat ganti se­ragammu, lalu makan keseringan menggoda Mama seperti yang sering papamu lakukan,Ra.” “Bumi” 33 Aku menelan ludah. Sebenarnya aku ingin mengeluh, karena Mamaterlihat santai-santai saja padahal kucingku hilang satu, tapi akulangsung mengurungkannya. Aku seketika tertegun. Eh, Mama barusan bilang apa? Satu ekor? Aku benar-benar baru menyadari hal itu sekarang, detik ini. Sepertiada yang melemparkan pemikiran itu di kepala. Ditam­bah dengankejadian tadi pagi, melihat sosok tinggi kurus di sekolah, tiba-tibamembuatku berpikir ada yang benar-benar keliru dengan dua ekor kucing”kembar” kesayanganku selama ini. Setelah enam tahun punya kucing,aku pikir itu semua hanya gurauan Mama dan Papa. Jangan-jangan... ”Ayo, cepat ganti seragam. Jangan malah bengong,” Mama ber­serumengingatkan. *** Sejak usia enam tahun aku ingin punya kucing. Saking inginnya,aku pernah menculik kucing anggora milik Tante Anita, adik Mama,waktu kumpul arisan keluarga di rumahnya. Aku sehari­an bermainbersama kucing itu, memegang bulunya yang tebal seperti beludru KW1,hangat memeluknya sambil tiduran, ber­lari mengejarnya di saat pulang, aku gemas dan me­­masuk­­kan kucing itu kedalam tas. Dua hari kucing itu ku­sem­bunyi­kan di kamar. Persis hariketiga, Mama menemukan­nya. Mama marah besar, bilang tanteku justru cemas mencari ke sanakemari kucing kesayangannya dua hari terakhir. Aku hanya menatappolos. ”Kucingnya lucu, Ma. Lagian Tante juga bilang, kalau Ra mau,kucingnya boleh dipinjam beberapa hari.” Mama tambah marah. ”Dipinjam itu berarti bilang-bilang. Kamumencurinya.” Papa hanya tertawa, meredakan marah Mama, bilang bahwa akumasih enam tahun. Papa lantas mengantar kembali kucing itu pulang kerumah Tante Anita, membiarkan aku merengek menangis. “Bumi” 34 ”Nanti-nanti, kalau Ra sudah besar dan bisa mengurus kucingpeliharaan sendiri, baru boleh,” Mama tegas berkata, dan itu berarti tidakbisa ditawar-tawar lagi. Tiga tahun berlalu sejak kejadian itu. Persis ulang tahunku yangkesembilan, kucing ”kembar” itu hadir di rumah kami. Aku yang tahu hari itu ulang tahunku berseru-seru riangme­nuruni anak tangga. Sambil mengucek mata, me­nguap, masih ileran,rambut panjang berantakan, aku berteriak-teriak, ”Mama! Papa! Ra ulangtahun. Mana hadiahnya?” Mama dan Papa yang sudah bangun lebih awal tertawa. Merekamenungguku di meja makan sejak tadi. Aku ikut tertawa demi melihattumpukan kotak hadiah di lantai. Aku langsung loncat bersemangat. Ada enam kotak hadiah—dua dari Papa dan Mama, yang lain darisaudara dekat dan tetangga. Persis saat aku selesai mem­bongkar kotakkeenam dan tertawa membentangkan sweter hi­jau, bel rumah ditekanseseorang, bernyanyi nyaring. ”Biar Ra yang buka.” Aku beranjak berdiri—siapa tahu itu kadokuyang ketujuh. ”Sejak kapan Ra mau disuruh membukakan pintu kalau adatamu?” Mama tertawa, menggoda. ”Yang ada malah berteriak-teriakmenyuruh orang lain.” Aku menjulurkan lidah. ”Biarin. Hehe.” Aku berlari-lari kecil kepintu de­pan. Dugaanku tepat, itu kado ketujuh. Kado paling spesial. Di dalamkardus berwarna pink, beralaskan talam lembut, ditutup kain sutra,hadiah ulang tahunku menunggu. Saat aku membuka kain sutra tipis,dua anak kucing berbulu tebal terlihat mengeong tidak sabar, salinggelitik, bermain satu sama lain. Aku sungguh kehilangan ekspresi terbaik,tidak bisa ber­kata-kata lagi. Aduh, dua anak kucingnya lucu sekali. Matamereka bundar bercahaya, bulunya lebih lebat daripada yang bisakubayangkan. Dua anak kucing anggora usia dua minggu. Kedua­nyatampak mirip. Warna bulu mereka hitam dengan bintik-bintik putih, atau “Bumi” 35boleh jadi sebenarnya putih dengan bintik-bintik hitam, saking ratanyawarna hitam-putih tersebut. Dua ekor kucing itu tidak bisa dibedakan,kembar. ”Mama yang membelikan kucing?” Papa berbisik. Papa dan Mamasudah berdiri di belakangku. Mama menggeleng. ”Mungkin dari tantenya.” ”Aduh lucunya.” Itulah kalimat pertamaku setelah terdiam satumenit menatap dua makhluk menggemaskan itu. Aku akhir­nyamerengkuh dua ekor kucing itu, menoleh ke Mama dan Papa. ”Boleh Rapelihara ya, boleh ya, Ma?” Mama mengangguk, dan aku sudah rusuh membawa kotak itu kedalam, berlari, bahkan sebelum anggukan Mama ter­henti. *** Masih enam tahun lalu, saat usiaku sembilan tahun. ”Kamu sudah memberi nama kucingmu, Ra?” Papa ber­tanya,me­letakkan secangkir minuman hangat ke atas meja. Kami se­dangberkumpul di ruang keluarga, habis makan ma­lam ulang tahun­ jadwal menonton DVD, film kar­tun favorit­ku. ”Sudah, Pa,” aku menjawab pendek, sedang asyik bermain ber­samadua ekor kucing baruku di atas karpet. ”Papa boleh tahu namanya?” Papa antusias, mendekat. ”Si Hitam dan si Putih,” aku menjawab, tersenyum manis. ”Si Hitam atau si Putih, maksudmu?” Papa mendekat lagi,keningnya berkerut tipis, ikut melihat kucing yang merangkak naik dipahaku. ”Bukan, Pa. Si Hitam dan si Putih.” “Bumi” 36 ”Eh? Maksudmu, nama kucingnya ada dua? Dikasih dua nama ya,karena warna bulunya tidak bisa dibedakan hitam berbelang putih atauputih berbelang hitam?” Papa bingung. ”Bukan, Pa.” Aku menoleh. Masa Papa nggak ngerti juga, ujarkudalam hati. ”Kucingnya kan ada dua, Pa. Jadi yang satu namanya siHitam, satunya lagi si Putih.” Waktu itu aku tidak terlalu menganggap penting percakapantersebut. Mama menyikut pelan Papa, mengedipkan mata. Papamengangkat bahu, menoleh, menatap Mama tidak mengerti, lalu kem­baliduduk di sofa. ”Biasa, Pa. Beberapa anak juga begitu. Selalu punya teman lain’,”Mama berbisik. ”Teman lain?” Papa ikut berbisik. ”Teman imajinasi.” Mama tersenyum simpul. ”Bermain denganimajinasi. Karena kucingnya hanya satu, biar seru, mungkin Ramenganggap ada anak kucing lain, biar ada temannya. Jadilah dia sepertipunya dua kucing.” ”Mama serius?” Papa menelan ludah. ”Tentu saja. Coba Papa tanyakan ke teman kantor, tetangga,kenalan, mereka pasti bilang anak-anak biasa mengalami fase itu. Tidakberbahaya, lama-lama hilang sendiri.” ”Tapi Ra kan sudah sembilan tahun, Ma?” Mama tertawa pelan. ”Bukannya Papa sendiri yang bilang bahwa Ramasih bayi? Setiap malam selalu mengecup dahinya, bilang, ’Selamattidur, bayi besarku.’” Papa tertawa, lalu mengangguk. Dia meraih remote DVD player.”Mama benar. Ra masih anak-anak. Setidaknya dia senang sekali dengankucing barunya. Bahkan film kartun ke­sayangannya pun diabaikan. Kitanonton yang lain saja. Mum­pung Ra tidak akan protes.” “Bumi” 37 Malam itu, aku telanjur senang dengan hadiah kucing di dalamkotak berwarna pink itu. Aku sedikit pun tidak mem­per­hatikanpercakapan Papa dan Mama. Dan karena sejak usiaku dua puluh duabulan, sejak bermain petak umpet itu, keluarga kami terbiasa dengan hal-hal aneh, soal kucing itu cepat atau lambat juga dianggap biasa saja. Bahkan saat arisan keluarga diadakan di rumah kami beberapabulan kemudian, Tante Anita berseru riang, ”Aduh, sejak kapan Ra punyakucing? Kok nggak bilang-bilang sih, Ra. Cantik sekali. Kayaknya lebihcantik di­banding kucing Tante, ya.” Sebelum aku menjawab, Mama justru memotong, bertanya balik keTante, ”Bukannya kamu yang kirim kotak pink itu? Hadiah ulang tahunRa enam bulan lalu?” Tante Anita menggeleng bingung. ”Aku kan mengirimkan pula kalau kucing­nya secantik ini, lebih baik untuk aku saja.” TanteAnita lantas tertawa. Tidak ada yang tahu siapa sebenarnya yang mengirimkan kotakberwarna pink, beralaskan beludru dan ditutup kain sutra terbaik itu,dan tidak ada yang berusaha mencari tahu siapa yangme­ngirim­­­kan­nya. Seiring waktu yang berjalan cepat, tidak ada yangterlalu memperhatikan saat aku bermain kejar-kejaran dengan duakucingku di taman, saling menggelitiki, basah-basahan, memberi­kansusu, dan menyiapkan makanan. Bagiku, kucing itu selalu ada dua, siPutih dan si Hitam. Aku tidak pernah merasa kucing itu ha­nya satuseperti yang dilihat Papa, Mama, tetangga, atau ke­ra­bat. Me­reka hanyatahu aku punya seekor kucing anggora lucu. *** ”Ra!” Suara Mama mengagetkanku. Mama sudah berdiri di depanpintu kamar. Aku menoleh. ”Aduh, berapa kali lagi Mama harus bilang. Cepat ganti baju, lalumakan siang. Kita harus jalan sekarang. Kalau kesorean, nanti tokoelektroniknya tidak bisa mengantar mesin cucinya hari ini. Mama jugaharus masak makan malam.” Mama seperti­nya ter­lihat marah,menatapku, tidak mengerti kenapa aku masih mengena­kan seragam “Bumi” 38sekolah. ”Ayo, Mama tunggu lima belas menit di garasi, sekalian Mamamembereskan garasi. Kalau kamu tidak siap-siap juga, Mama tinggal.” ”Iya, Ma,” aku menjawab pelan. ”Dan satu lagi. Bermain kucingnya bisa nanti-nanti. Si Putih atau siHitam kan bisa main sendiri. Dari tadi kucingnya di­gendong, dibawa kemana-mana.” Mama menunjuk kucing yang masih kugendong. Aku menelan ludah, mengangguk. Punggung Mama hilang dari bingkai pintu, turun ke lantai satumenuju garasi. Sekarang suasana hatiku benar-benar berubah. Suram. Separuh hatiku sedih karena si Hitam tetap tidak berhasilku­temukan setelah hampir setengah jam memeriksa rumah—aku mulaicemas jangan-jangan si Hitam kenapa-napa, separuh hatiku bingungdengan semua pemikiran baru yang ber­kembang di kepalaku. Bagaimanamungkin kucing itu hanya satu? Aku sendiri yang setiap harimenyusuinya dengan botol susu hingga usia beberapa bulan, memberikanpiring berisi makan­an, me­mandikannya, mengeringkan bulunya,menyisir bulu­nya. Mama pasti keliru. ”Kamu lihat si Hitam tidak, Put?” aku berbisik. Kucing yang kugendong hanya mengeong pelan. Mata bulat­nyaterlihat bercahaya seperti biasa, manja menyundul-nyundul­kankepalanya ke lenganku. ”Sungguhan tidak lihat?” Aku mengelus kepalanya. Kucing yang kugendong tetap mengeong pelan. Baiklah. Aku menghela napas, meletakkan si Putih di lantai,beranjak merapikan isi lemariku yang tadi kubongkar. Aku me­masukkankembali kotak berwarna pink yang enam tahun lalu tergeletak rapi didepan pintu rumah kami, tanpa pernah tahu siapa yang mengantarnya,tidak ada siapa-siapa di halaman, tidak ada kurir atau petugas yangmengantarkan kotak itu. “Bumi” 39 Baiklah. Urusan ke mana perginya si Hitam bisa kuurus se­telahpulang menemani Mama ke toko elektronik. Saatnya ber­ganti seragam,makan siang dengan cepat. Siapa tahu saat aku pulang dari toko, duakucingku sudah bermain bersama lagi. “Bumi” 40 IMA belas menit kemudian, setelah mengunci pintu danmenutup gerbang pagar, Mama memboncengkan aku dengan Vespa,melaju di jalanan pukul tiga sore. Belum terlalu macet, cahaya mataharimulai terasa lembut, meski udara pengap kota tetap terasa. Mama gesitmenyalip kendaraan lain kalau saja aku lebih riang, aku akanmenceletuk, ”Salip lagi yang di depan, Ma! Lebih cepat!” dan akan balas tertawa. ”Tapi jangan bilang papamu kalau kitangebut.” Mama ke mana-mana lebih suka mengendarai motor, jago sejakkuliah. Menurut cerita versi Papa, bahkan dulu waktu kuliah Mamapernah ikut balapan motor, tapi aku memutuskan tidak percaya. Setengah jam acara salip-menyalip, Vespa Mama sudah ter­parkirrapi di basement pusat perbelanjaan besar. Aku ber­usaha menyejajarilangkah Mama yang kalau jalan juga selalu super­cepat menuju tanggaeskalator. Tujuan pertama kami adalah toko elektronik. Aku sering ke toko ini, menemani Mama, tapi belum pernah kebagian mesin cuci. Terhampar di bagian tersendiri, berpuluh-puluh modelmesin cuci berjejer. Aku menatap terpesona seluruh mesin cuci itu sambilberpikir, ternyata tidak berbeda dengan ponsel, banyak model, banyakfitur, banyak spesifikasi, dan jelas banyak mereknya. ”Tergantung kebutuhannya, Bu,” petugas sales toko elektroniksudah melesat menyambut kami, tersenyum dua senti sesuai SOP,memulai strategi menjualnya. ”Kalau Ibu butuh mesin cuci yang bisamencuci pakaian sekotor apa pun, kinerjanya kinclong, Ibu pilih saja yangfront loading. Kapasitasnya besar, listriknya lebih hemat, dan efisientempat. Meskipun kekurangannya, mesinnya lebih bergetar, suaranyalebih berisik, agak beraroma karena sering menyisakan air di dalam, danlebih mahal.” Aku tertawa dalam hati, melihat gaya petugas sales itu. Akumembayangkan Ali dalam versi lebih dewasa, sok tahu sedang “Bumi” 41menjelaskan teori menghilang, eh mesin cuci. Seli salah, apanya yangcute, Ali itu lebih mirip petugas sales ini, malah lebih rapi petugas sales-nya. ”Atau kalau Ibu hanya mencuci pakaian yang tidak terlalu kotor,bujet terbatas, dan tidak punya masalah dengan tempat di rumah, pilihsaja yang top loading. Kinerja mencucinya tidak sebaik front loading, tapisiapa pula yang hendak mencuci se­ragam penuh lumpur? Anak Ibu tidaksuka pulang kotor-kotor, kan?” Petugas sales tertawa, menunjukku. ”AtauIbu mau men­coba jenis mesin cuci terbaru kami, hybrid dua model yangsaya jelaskan sebelumnya, high efficiency top loading? Ini palingmutakhir, meski paling mahal.” Sedetik tertawa dengan gurauan­nya,petugas sales sudah kembali lagi dengan jualannya. Lima belas menit mendengarkan cuap-cuap petugas sales, Mamamenunjuk pilihannya. Model mesin cuci yang sama persis dengan punyakami yang rusak di rumah. Aku bingung menatap Mama. ”Setidaknya Mama tahu, yang ini bisa awet hingga lima tahun kedepan, Ra. Tidak perlu yang aneh-aneh,” Mama berbisik, menjelaskanalasannya. ”Terus kenapa Mama tadi sok mendengarkan penjelasan petugassales kalau memang akan memilih yang ini?” balasku, juga denganberbisik. ”Yah, setidaknya Mama jadi tahu model terbaru mesin cuci, kan?Lagi pula, kasihan petugas sales-nya kalau dicuekin.” Aku menepuk dahi, akhirnya tidak kuat menahan tawa. Betul, bersama Mama selalu menyenangkan. Petugas sales yangsedang mengepak mesin cuci yang kami beli menoleh, tidak mengertikenapa aku tiba-tiba tertawa, berbisik-bisik. Setelah memastikan mesin cuci itu akan diantar sore ini juga kerumah, paling telat tiba nanti malam, kami meninggalkan toko elektronik,pindah ke supermarket. Mama belanja keperluan bulanan. ”Kamu tidak “Bumi” 42mau ke toko buku?” Mama bertanya, men­dorong troli masuk ke lorongdetergen dan teman-teman­nya. ”Buku yang kemarin-kemarin saja belum Ra baca. Lagian banyakPR dari guru, Ma. Nggak sempet baca novel.” Aku meng­geleng. ”Nah, lalu jatah uang bulanan buat beli bukumu kamu pakai buatapa?” Mama menunjuk dompetnya di saku. ”Buat nambahin belikeperluan Mama saja ya.” Mama mengedipkan mata. ”Nggak boleh. Curang,” aku buru-buru berseru, memotong.”Sebentar, Ra punya ide lebih baik.” Aku bergegas meninggalkan Mama, pindah ke lorong lain disupermarket. Aku kembali lima menit kemudian, saat Mama sudahmendorong troli di lorong minyak goreng dan teman-temannya. Akuter­senyum, meletakkan satu kotak es krim batangan ke dalam troli. ”Idebagus, kan?” Mama menghela napas, tidak ber­komentar. Itu pula enaknya pergibersama Mama, aku bebas belanja apa saja sepanjang itu memangjatahku. Persis jam tangan menunjukkan pukul lima sore, aku dan Mamamembawa kantong plastik belanjaan ke parkiran motor. Jalanan semakinpadat, suara klakson dan asap knalpot ber­gabung dengan kesibukanorang pulang kantor dan aktivitas lainnya. Setelah hujan sepanjang pagitadi, langit sore ini terlihat bersih, awan tipis tampak jingga oleh mataharisenja. Mama gesit mengemudikan Vespa-nya, menaklukkan tanganku memegangi belanjaan, satu tangan lagi panjangku berkibar keluar dari helm. ”Jangan bilang-bilang Papa kita ngebut, ya,” Mama berseru. Aku tertawa, tidak menimpali. *** Tiba di rumah, tetap hanya si Putih yang berlari-larime­nyambut­ku. Aku menelan ludah, hendak menggendong kucingku—namun urung, takut Mama mengomel. Aku membantu meletak­kan “Bumi” 43belanjaan di dapur, beres-beres sebentar, lantas buru-buru menyingkirsebelum Mama menyuruhku membantu memasak. ”Ra ke kamar ya, Ma,ada PR.” Aku meraih kotak es krim ba­tang­anku, dan sebelum Mamaberkomentar, aku sudah menuju ruang tengah, diikuti si Putih. Setelah lima belas menit mengerjakan PR matematika dari MissKeriting, aku berpendapat bahwa yang menyusun jadwal pe­lajaran kelasX-9 pasti genius seperti Ali. Bayangkan, dua hari berturut-turut pelajaranpertamanya adalah matematika—mood-ku menyelesaikan PR langsungmenguap. Mataku me­mang me­natap angka-angka di atas kertas, tetapikepalaku me­mikirkan hal lain. ”Kira-kira si Hitam ke mana ya, Put?” Aku beranjak meraih si Putihyang melingkar anggun di ujung kaki, menemaniku me­ngerjakan PR. Si Putih hanya mengeong. Mata bundarnya mengerjap ber­cahaya. ”Atau jangan-jangan tadi dia menemukan kucing betina ya, Put?Jatuh cinta? Jadi minggat?” Aku nyengir dengan ide yang melintas jail Putih tetap mengeong seperti biasa, manja minta dielus dahinya. Akutertawa sendiri. Itu ide buruk. Sepertinya aku harus membaca bukutentang kucing lagi, supaya tahu kenapa kucing minggat dari rumah. Iyakalau cuma minggat? Kalau kenapa-napa? Aku menelan ludah, buru-buru mengusir jauh-jauh kemungkinan buruk itu. Atau jangan-janganMama benar? Memang hanya ada satu kucing di rumah ini sejak dulu. SiHitam hanya imajinasiku. Teman ”lain”. Aku menelan ludah lagi, buru-buru mengusir penjelasan itu. Aku tahu persis ada dua kucing di rumah ini. Aku menamai yangsatu si Hitam dan satunya lagi si Putih karena meski nyaris ter­lihatsama, dua kucing itu berbeda. Warna bulu yang me­ngelilingi bola matamereka berbeda. Si Hitam seperti mengena­kan kacamata hitam tipis, dansi Putih sebaliknya. Hingga Mama meneriakiku agar segera mandi, bergegas turunmakan malam, aku lebih sibuk memikirkan kucing-kucing itu dibandingPR matematika. Sempat untuk kesekian kali aku berusaha mencari siHitam, berkeliling rumah dengan kedua telapak tangan menutupi wajah,agar Mama tidak melihatku. Si Hitam tidak ada di mana-mana, di “Bumi” 44halaman depan maupun bela­kang. Kucingku itu sepertinya betulanminggat. Aku sementara menyerah. Sudah pukul tujuh malam, setengah jam lewat dari jadwalbiasa­nya Papa pulang. Setelah mandi, membantu Mama menyiap­kanmakan malam di meja, membantu Mama mengurus mesin cuci yangdiantar toko elektronik, aku dan Mama duduk di ruang keluarga,menunggu Papa pulang. ”Papa kenapa belum pulang juga ya, Ma?” aku bertanya. ”Mungkin macet.” Mama memencet remote, mengganti saluranstasiun televisi. ”Kita makan duluan yuk, Ma.” ”Tunggu Papa, Ra,” Mama menjawab pendek. ”Tapi Ra lapar, Ma.” Aku nyengir—memasang wajah seperti tidakmakan tiga hari. Mama tertawa, melambaikan tangan. ”Bukannya kamu sudahmenghabiskan tiga batang es krim sore tadi? Dasar gembul.” Aku memajukan bibir. Namanya lapar, ya tetap saja lapar. Pukul delapan malam, Papa belum pulang juga. Gerimis turunmembasuh rumah. Belum deras, tapi cukup mem­buat jendela terlihatbasah, berembun. ”Tetap nggak diangkat, Ma,” aku berseru dari meja telepon. Barusaja, untuk yang keempat kali aku menelepon ponsel Papa. Mama menghela napas. ”Kantor juga mulai kosong, sudah pada pulang.” Aku men­dekatisofa; aku juga barusan menelepon ke kantor. ”Kata sat­pam kantor yangmenerima telepon, Papa dari tadi siang nggak ada di kantor. Ra makanduluan ya, lapar berat, hampir sem­poyongan jalannya nih.” “Bumi” 45 Mama menatapku yang pura-pura melangkah gontai. ”Ya sudah,kamu makan duluan saja.” ”Terima kasih, Ma.” Aku tersenyum lebar, langsung sigap menujumeja makan. Pukul sembilan malam, Papa belum pulang juga. Hujan turunsemakin deras. Hari-hari ini musim hujan, cerah sejenak seperti sore tadibukan berarti cuaca tidak akan berubah dalam hitung­an jam. Petirmenyambar terlihat terang dari jendela dengan tirai tersingkap. Gelegarguntur mengikuti. Aku bahkan sudah dua kali naik-turun kamar, ruang keluarga,mengerjakan PR matematika, mengecek Mama yang masih me­nunggusambil menonton televisi. Urusan kucingku si Hitam se­dikit terlupakan—aku menghibur diri dengan meyakini si Hitam minggat ke rumahtetangga, nanti-nanti juga pulang. ”Mungkin Papa tiba-tiba diajak pemilikperusahaan pergi ke luar negeri kali, Ma? Kayak enam bulan lalu.” Waktuitu, Papa malah baru pulang besok sorenya, mendadak diajak surveimesin pabrik yang baru. Tetapi setidaknya, waktu itu Papa menelepon,memberitahu, jadi tidak ada yang menunggunya. Mama menoleh, terlihat mengantuk. ”Kamu tidur duluan saja, Mama yang menunggu Papa.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kasihan melihat Mamayang pasti keukeuh tidak akan tidur, tidak akan makan sebelum Papapulang. ”Atau jangan-jangan Papa lagi berusaha memenangkan hati pemilikperusahaan, Ma? Eh, misalnya dengan bikin konser musik di rumahnya,ngasih hadiah kejutan, kali-kali saja pemilik perusahaan ulang tahun hariini.” Mama tertawa kecil. ”Kamu ada-ada saja. Sudah, kamu tidurduluan. Paling juga papamu pergi ke pabrik luar kota. Ponselnyaketinggalan di kantor. Lupa memberitahu.” Pukul setengah sepuluh, setelah dipaksa Mama, aku akhirnya naikkembali ke kamar. Kucingku si Putih sudah malas-malasan meringkuk “Bumi” 46tidur di pojok ranjang. Hujan deras membungkus rumah kami. Akumengintip dari sela tirai kamarku. Halaman basah, sejauh matamemandang hanya kerlip cahaya lampu di antara jutaan butir air. Akumenghela napas pelan, setidaknya Papa kan naik mobil, jadi kalausekarang dalam perjalanan pulang tidak akan kehujanan. “Bumi” 47 APA baru pulang lewat pukul sepuluh. Aku yang belum tidur,meski sudah mematikan lampu sejak tadi, bergegas turun saatmendengar mobil memasuki garasi. Aku menempelkan ke­dua telapaktangan ke wajah, mengintip dari sela jemari, berdiri di anak tangga. ”Papa minta maaf, Ma.” Suara Papa terdengar lelah, menyekarambut di dahi. ”Hari ini di pabrik kacau sekali. ”Tadi pagi Papa buru-buru berangkat ke kantor, karena jadwalpengoperasian mesin yang dibeli enam bulan lalu itu ternyata dimajukanhari ini. Pemilik perusahaan mengajak beberapa mana­jer senior kepabrik, melihat seberapa baik mesin itu bekerja.” Papa mengembuskan napas, mengempaskan tubuh di sofa,me­lepas sepatu. ”Setengah jam pertama, mesin itu sepertinya tidakbermasalah, bahkan sangat prima, tapi entah kenapa, persis saat kamiakan kembali ke kantor, salah satu sabuk mesin terlepas. Itu mesinpencacah raksasa, terbayang saat sabuk dengan lebar se­tengah meter,panjang tiga puluh meter, terlempar begitu saja ke udara. Sebelaskaryawan luka parah seketika, dilarikan ke rumah sakit. Belasan lainluka ringan, terkena bahan mentah yang seperti peluru ditembakkan kesegala penjuru. Rombongan dari kantor beruntung ada di boks terlindungkaca, hanya dindingnya yang retak.” ”Tapi tidak ada yang meninggal, kan?” Mama bertanya pri­hatin,membantu membereskan sepatu dan kaus kaki Papa. Papa menggeleng. ”Tetap saja itu kecelakaan paling serius yangpernah terjadi. Operasional pabrik terpaksa dihentikan hingga mesin itudiperbaiki, kemungkinan hingga seminggu ke depan. Dan itu otomatisberarti Papa harus berangkat pagi pu­lang malam seminggu ke ini benar-benar seperti di luar akal sehat. Itu mesin baru. Teknisibule yang memasang­nya bahkan masih ada di pabrik. Sabuk setebal ituputus begitu saja, seperti ada yang memotongnya dengan benda tajam.” Novelseries ke dua dari BUMI yang ditulis oleh tere liye. Skip to main content. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services may be impacted. Novel series ke dua dari BUMI yang ditulis oleh tere liye. Addeddate 2017-11-08 14:53:26 Identifier PDF download. 100% found this document useful 5 votes13K views7 pagesDescriptionResensi Novel Bumi Karya Tere LiyeCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?100% found this document useful 5 votes13K views7 pagesResensi Novel BUMIJump to Page You are on page 1of 7 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime. novelbumi by tere liye, 3 fakta novel bintang dari tere liye pikiran rakyat, novel bumi karya tere liye arifuntaha blog, review novel bumi karya tere liye oleh annisa, download read bumi 2014 by tere liye in pdf epub formats, sinopsis dan resensi novel matahari karya tere liye, serial bumi bulan matahari facebook Powered by TCPDF (
TereLiye “Bumi” 148 Tetapi pertarungan jauh dari selesai. Sosok tinggi kurus itu masihbisa berdiri, tertawa marah. Aku mengeluh melihatnya. Bu­­kan­kah diasudah terkena pukulan kencang Miss Selena? Belum habis suara tawa sinisnya, tubuh itu telah dia muncul, melompat persis di depan Miss Selena,menyerang. Miss Selena dengan gesit menghindar. Sosok tinggi kurus itumenghilang kembali. Itu hanya serangan tipuan, karena kemudian diamuncul di belakang Miss Selena, menghunjamkan tinjunya. Lebih bertenaga. Miss Selena menangkis. Disusul lagi seranganberikutnya. Aku menelan ludah. Gerakan mereka sekarang nyaris tidak terlihatsaking cepatnya. ”Apakah Miss Selena baik-baik saja?” Seli bertanya. Suaranyabergetar oleh kecemasan. Aku menggeleng. Aku tidak tahu. Sejauh ini Miss Selena ber­tahan,tidak punya kesempatan balas menyerang. Dua pukulan dari sosok tinggi kurus itu susul-menyusulmeng­hantam tameng lubang hitam yang dibuat Miss Selena. Lubang ituberhamburan, sosok tinggi kurus itu merangsek maju, melepas lagi duapukulan beruntun. Miss Selena terlambat me­nangkis pukulan terakhir,berdebum, tubuhnya terbanting ke samping. Sosok tinggi kurus itusepertinya tidak memberi jeda. Dia tidak berhenti, dan melepas pukulanberikutnya sebelum Miss Selena kembali siap. Seli menjerit melihat Miss Selena terbanting ke sana kemari, samasekali tidak bisa menangkis. Satu, dua, tiga pukulan, Ali ikut menahannapas tegang. Empat, lima, enam pukulan, entah sudah seperti apakondisi Miss Selena menerima begitu banyak tinju, berdentum berkali-kali. Tujuh, delapan, aku sudah tidak tahan lagi melihatnya. Miss Selenatidak akan kuat menerima pukulan bertubi-tubi. Dia butuh bantuan. Akurefleks melompat, mengangkat tangan, jemariku mengepal membentuktinju, berteriak marah. ”Hentikan!” Astaga! Aku hanya berniat melompat satu langkah, tapi tubuhkubergerak jauh sekali. Entah bagaimana caranya, suara berdesir kencang “Bumi” 149terdengar saat tanganku terangkat, seperti ada angin puting beliung yangberputar deras di kepal tinjuku, ber­gumpal cepat. Tidak hanya itu, bungasalju juga berguguran dari kepal tinjuku. Dingin menyergap seluruh aula. Apa yang terjadi? Bagaimana aku melakukannya? Tinjuku te­lakmenghantam sosok tinggi kurus itu sebelum aku menyadari­nya. Suaraberdentum memekakkan telinga terdengar. Sosok tinggi kurus yang ganasmenyerang Miss Selena terlempar jauh, bahkan sebelum tinjukumengenai tubuhnya. “Bumi” 150 KU tidak sempat memikirkan apa yang telah terjadi. Ke­napaaku bisa melepaskan pukulan seperti itu. Aku panik meloncat menahanMiss Selena yang tanpa tenaga, seperti pohon lapuk, jatuh dari posisiberdirinya. Aku memeluknya. Kami berdua jatuh terduduk di lantai. Wajah cemerlang bagai bulan purnama Miss Selena redup. Diamasih bernapas, pelan, hampir tidak terdengar. Kondisinya amatmengenaskan. Kesadarannya menurun. ”Bangun, Miss Selena!” aku berseru panik. Jauh dari kami, sosok tinggi kurus itu terbanting menghantamdinding aula, terkapar. Entah apa yang terjadi padanya. Mata Miss Selena terbuka kecil. ”Aku baik-baik saja, Ra,” suara Miss Selena berbisik. Apanya yang baik-baik saja? Miss Selena persis habis digebukiorang satu kampung. ”Mudah sekali melakukannya, bukan?” Miss Selena menatap­kusambil tersenyum. ”Mudah apanya?” Aku tidak mengerti. ”Ya membuat pukulan tadi. Tidak ada yang pernah mengajari­mu,bukan?” Miss Selena menatapku lembut. ”Itu pukulan yang hebat sekali,Ra. Setidaknya butuh latihan bertahun-tahun un­tuk menguasainya diakademi terbaik. Kamu bahkan tidak perlu mem­pelajarinya.” Aduh, dalam situasi seperti ini, ada yang lebih pentingdi­bicara­kan. ”Kita harus lari, Miss Selena.” Suaraku bergetar cemas, akume­natap dinding aula seberang. Sosok tinggi kurus itu masih ter­kapar.”Miss Selena harus segera memperoleh pertolongan dokter.” “Bumi” 151 Miss Selena menggeleng. ”Kamu bisa melakukan apa pun, Ra,karena kamu yang terbaik. Kamu pewaris Klan Bulan pertama yangdibesarkan di Dunia Tanah. Juga Seli, dia pewaris Klan Matahari pertamayang berjalan di atas Bumi. Kalian saling melengkapi. Belajarlah dengancepat mengenali kekuatan kalian. Aku tahu, itu mungkinmembingungkan, banyak per­tanya­an di kepala. Tetapi waktu kalianterbatas, dan aku khawatir tidak banyak yang sempat menjelaskan.” Aku berseru panik. Di seberang, sosok tinggi kurus itu per­lahanmulai berdiri. ”Kita tidak akan menang melawan sosok tinggi itu, juga tidak akanbisa lolos. Kamu ingat baik-baik, namanya Tamus. Usianya seribu tahu, Ra, dulu dia adalah guruku.” Miss Selena tertawa getir.”Tentu bukan pelajaran matematika yang dia ajarkan. Karena jangankanaku, kalian pun tidak suka pelajaran tersebut di kelasku, bukan?” Aku menggeleng. Maksud gelenganku bukan untuk bilang aku sukapelajaran matematika, melainkan waktu kami sempit, sosok tinggi kurusitu sudah sempurna berdiri. ”Kamu perhatikan kalimatku, Ra.” Miss Selena menarik kepala­kulebih dekat, suaranya terdengar tegas. ”Aku akan mem­buka lubang hitamagar kalian bisa melarikan diri ke tempat yang tidak bisa didatangi Tamusdan pasukannya. Kalian bertiga secepat mungkin melintasi lubang kalian lari, aku akan menahan Tamus sekuat mungkin. Diatidak akan suka me­lihat kalian pergi.” ”Apa yang akan terjadi dengan Miss Selena kalau kami sudahpergi?” ”Jangan banyak bertanya, Ra.” ”Miss Selena harus ikut!” aku berseru. Miss Selena menggeleng. ”Kalian bertiga jauh lebih penting. Sudah,jangan bertanya lagi.” ”Aku tidak mau meninggalkan Miss Selena.” “Bumi” 152 Tamus telah menghilang dari seberang din­ding. Aku tahu diamenuju ke mana. Saat suara seperti gelem­bung air meletus ter­dengarkembali, dia melompat di atasku dan Miss Selena dengan ganas,menghantamkan pukulan ke arah kami. Miss Selena memelukku. Kami menghilang. Lantai aula hancur lebur hingga radius dua meter. Lubang besarme­nganga. Aku dan Miss Selena muncul di dekat Seli dan Ali. Miss Selenamelepas pelukan, bangkit berdiri, mengacungkan jemari­nya ke dinding,berseru dalam bahasa yang tidak kukenali. Lubang dengan pinggiranseperti awan hitam mendadak muncul, membesar dengan cepat,pinggirannya berputar laksana gasing. ”Cepat, Ra! Masuk!” Miss Selena berseru. ”Aku tidak mau pergi!” aku berseru panik. Aku tidak akan per­nahmeninggalkan Miss Selena sendirian menghadapi sosok tinggi kurusmenyebalkan itu. ”Ali! Bawa teman-temanmu masuk ke lubang hitam. Seret jika Raibmenolak!” Miss Selena menoleh ke arah Ali. ”Kamu mungkin saja hanyaMakhluk Tanah, tidak memiliki kekuat­an, tapi kamu memiliki sesuatuyang tidak terlihat. Minta Ra me­nunjuk­kan buku PR matematikanya.” Miss Selena sudah menghilang. Aku tahu dia menuju ke mana. MissSelena sudah berdiri gagah berani menghadang Tamus yang bersiapmeloncat menyerbu kami. Pertarungan jarak dekat kembali terjadi. Tamus mengamuk,meraung. Pukulannya bukan hanya menderu bagai angin puyuh, tapijuga mendesis dingin. Aku yang berdiri belasan meter dari tengah aulabisa merasakan dingin menusuk tulang setiap tangannya bergerak danberdentum mengenai sasaran. Percikan bunga salju memenuhi aulasekolah, melayang berguguran. Miss Selena segera terdesak, menjadibulan-bulanan pukulan. “Bumi” 153 ”Kita harus pergi, Ra!” Ali berseru, menunjuk lubang hitam yangmasih terbuka. Aku menggeleng kuat-kuat. ”Kamu harus mendengarkan Miss Keriting!” Ali men­cengkeramlenganku. Seli menatapku, bergantian menatap Ali, bingung. Aku mengepalkan tangan. ”Aku tidak akan lari. Aku akan ikutbertarung membantu Miss Selena.” ”Lubang hitamnya mengecil, Ra!” Ali berseru panik. ”Kita harussegera masuk. Lubang ini entah menuju ke mana dan seperti­nya tidakakan bertahan lama.” Aku menoleh ke lubang hitam itu. Ali benar, lubangnya mulaimengecil. Aku menoleh ke depan. Miss Selena terbanting lagi, tubuhnyaterbaring di lantai aula. Tamus sudah meloncat, me­lepas dua pukulandari atas. Miss Selena yang tidak bisa ke mana-mana, mati-matianmembuat tameng, menerima pukulan dalam posisi meringkuk. Situasinyasemakin payah. Apa yang harus kulakukan? Aku menggigit bibir. Miss Selena menoleh kepada kami. Wajahnya meringis kesakitan,terus bertahan dengan sisa tenaga. ”Lari, bodoh!” Aku bertatapan dengan Miss Selena. Wajah itu menyuruhku segerapergi. ”Bawa teman-temanmu lari, Ali! Sekarang!” Miss Selena ber­ kalimatnya bahkan hilang karena menerima dentum­an pukulanberikutnya. Ali menyeretku kasar. Aku berontak, berseru tidak mau. Ali tidakpeduli. Dia menarikku kencang sekali. Aku terjerembap melintasi lubanghitam yang terus mengecil. Seli segera me­nyusul. “Bumi” 154 Tamus menghantamkan pukulan me­matikan terakhir ke arah MissSelena. Seperti ada hujan salju turun dari langit-langit aula. Seluruhruangan terasa dingin meng­gigit. Aku menjerit, tidak tahan yang berdiri menginjak tubuh Miss Selena mendongak melihatkami, baru menyadari sesuatu. Melihat kami akan kabur, dia meraungmarah, meloncat cepat. Tubuhnya menghilang. Dari dalam lubang, Ali mengayunkan pemukul bola kastinya kedepan. Entah apa yang dilakukan Ali, kenapa dia memukul udarakosong? Tamus itu persis berada di depan lubang hitam. Apalah artinya pemukul bola kasti bagi sosok tinggi kurus pukulan Ali persis menghantam wajah Tamus saat dia mun­cul didepan kami, saat tangannya berusaha meraih ke dalam lubang. Pemukulbola kasti patah. Meski tidak terluka sedikit pun, pukulan itumengagetkan Tamus, membuatnya refleks melangkah mundur,menciptakan satu detik yang sangat berarti. Lubang hitam dengan cepatmengecil, lantas menghilang, menyisakan lengang. Tamus mengaum lantang, marah sekali. Dia beringasmenghantamkan tangan ke dinding aula. Bunga salju tepercik ke mana-mana menyusul dentuman-dentuman keras. Kami sudah menghilang, tidak bisa dikejar. “Bumi” 155 ELAP sesaat, tidak terlihat apa pun. Aku, Seli, dan Ali beradupunggung, berjaga-jaga, menatap kegelapan. Kemudian muncul setitikcahaya, kecil, segera membesar setinggi kami. Lubang berpinggiran hitam,berputar seperti awan, terbentuk di depan. Kami bisa melihat keluar,bukan aula sekolah. Terang, tidak remang, juga hangat, tidak dinginmenusuk tulang. Ali lebih dulu melangkah. Si genius itu sepertinya tidak perluberpikir dua kali atau memeriksa terlebih dahulu ke mana lubang inimembuka. Dia keluar sambil mencengkeram pemukul bola kastinya yangtinggal separuh. Seli menyusul kemudian. Ali meng­ulurkan tangan,membantu. ”Kita ada di mana?” Seli bertanya. ”Kita berada di kamar Ra.” Ali yang menjelaskan. Ali benar. Aku mengenali ruangan ini, kamarku. Lubang di atas lantai mengecil saat kami bertiga sudah lewat, lantaslenyap tanpa bekas. Kalau saja situasinya lebih baik, mungkin aku akan merebutpemukul bola kasti Ali, memukul si biang kerok itu. Jelas sekali dia tahuini kamarku dari alat yang dia pasang. Tapi ada banyak hal yang lebihpenting untuk diurus sekarang. ”Apakah Miss Selena akan baik-baik saja?” Seli bertanya ce­mas. ”Aku tidak tahu,” jawabku. ”Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Seli bertanya lagi. ”Buku PR matematikamu di mana, Ra?” Ali berseru. Aku bergegas melompat ke meja belajar yang tidak ada bangku­nyasudah kuhilangkan semalam. Aku bisa leluasa berdiri mencari di antara “Bumi” 156tumpukan buku tulis. Aku menarik buku itu, menyerahkannya pada yang paling genius di antara kami. Semoga dia tahu harus diapakanbuku ini. Sejak beberapa hari lalu, aku sudah menggunakan berbagaicara, buku PR matematikaku ini tetap saja buku biasa. Aku dan Seli menunggu tidak sabar. Ali memeriksa buku itu, membuka halamannya, memperhati­kandari dekat, memeriksa setiap sudut, menepuk-nepuk pelan sepertiberharap ada yang akan jatuh. Akhirnya dia terdiam. ”Apa yang kamu temukan?” aku bertanya. ”Ini hanya buku PR biasa.” Ali menggeleng. Aduh, aku juga tahu itu buku PR. Seli di sebelahku juga mengeluh. ”Ada sesuatu yang menarik?” aku mendesak. ”Eh, ada... Maksudku, nilai matematikamu jelek sekali, Ra.” Alimembuka sembarang halaman, menunjukkan­nya kepadaku. ”Lihat,hanya dapat nilai dua. Kamu tahu, per­samaan seperti ini bahkan bisakuselesaikan saat kelas empat SD.” Sebenarnya kali ini Ali tidak mengucapkan kalimat itu dengan nadasombong. Dia hanya lurus berkomentar, karena nilai mate­matikakumemang mengenaskan. Tapi aku jengkel sekali men­dengarnya. Akumerebut buku PR dari tangannya. Enak saja dia bilang begitu dalamsituasi runyam, dengan seragam dan tubuh berlepotan debu, wajah danrambut kusut masai, bahkan kami tidak tahu apa yang terjadi pada MissSelena di aula sekolah sekarang. ”Aku belum selesai memeriksanya, Ra.” Ali mengangkat bahu,protes. ”Kamu tidak memeriksanya,” aku menjawab ketus. ”Kamu hanyamelihat-lihat nilaiku.” ”Sori.” Ali nyengir. ”Tapi itu kan juga memeriksa. Eh, mak­sudku,siapa tahu Miss Keriting menaruh kode atau pesan di nilai yangditulisnya. Aku janji memeriksanya lebih baik.” “Bumi” 157 Seli memegang lenganku, mengangguk. Baiklah. Aku menyerahkan lagi buku PR matematikaku pada Ali. ”Kamu sudah mencoba memeriksanya sambil menghilang?” Alibertanya, kembali memeriksa buku PR matematikaku. Aku mengangguk. ”Tidak ada yang berbeda, tetap buku biasa.” Ali menurunkan tas ransel di pundak, mengeluarkan beberapaperalatan. Aku baru tahu bahwa tas besar yang sering dibawa Ali selamaini berisi banyak benda aneh. Dulu murid-murid menebak, apasebenarnya yang dibawa si genius ini ke sekolah. Setiap pelajaran diamalah disetrap atau diusir dari kelas karena ketinggalan membawa apa isi tas besar­nya? Seli bahkan pernah berbisik, jangan-jangan sigenius ini merangkap penjual asongan di sekolah. Atau pedagang daripasar loak, membawa dagangannya ke mana-mana. Aku dulu tertawace­kikik­an mendengarnya. Lima belas menit mengutak-atik buku itu, mengolesinya de­ngansesuatu, memanasinya dengan sesuatu, mencium, mengguna­kan kacapembesar, entah apa lagi hal aneh yang dilakukan Ali, tetap tidak adasesuatu yang menarik. Itu tetap buku PR mate­matika biasa. Ali mendongak, menyerah. ”Aku sudah melakukan apa pun yangaku tahu, Ra.” Aku menatapnya gemas. ”Terus bagaimana? Jelas sekali MissSelena menyimpan sesuatu di buku PR itu.” Tanpa kalimatnya tadi di aulasekolah, beberapa hari lalu saat mengantarkannya, dia sudah berpesanbuku itu penting. ”Apakah Miss Selena mengatakan sesuatu saat memberikan bukuini?” Ali bertanya. Aku diam sejenak. ”Iya, Miss Selena mengatakan hal itu. Aku masihmengingat kalimat aneh itu. Apa pun yang terlihat, boleh jadi tidak sepertiyang kita lihat. Apa pun yang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kitaduga. Ada banyak sekali jawaban dari tempat-tempat yang hilang.” Ali diam sejenak, mencoba memahami pesan tersebut. “Bumi” 158 ”Memangnya kamu paham, Ali?” celetuk Seli. Kami menatap Seli. Ali menoleh, konsentrasinya terganggu.”Maksudmu apa, Sel?” ”Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesia-mu lebih hancurdibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih burukdibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahumaksudnya?” Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar. Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telaksekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah men­duga kami akanakrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,memikirkannya saja sudah amit-amit. Lihatlah se­karang, Seli nyengirtanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidakakan tersinggung. Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awut-awut­an, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Akuakhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan,meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke manasemuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang salingmelindungi dan peduli. Tiba-tiba Ali mengangkat tangannya. Tawa kami terhenti. ”Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilang­kanbuku ini, Ra,” Ali berkata serius. ”Apa? Menghilangkannya?” Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilang­kannovel, bangku, flashdisk, dan benda-benda lain, tidak satu pun yangkembali. Kami bisa kehilangan satu-satunya cara untuk mem­perolehpenjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak ber­bekas. “Bumi” 159 ”Ayo, Ra. Lakukanlah. Itulah maksud pesan Miss Selena, apa punyang hilang, tidak selalu lenyap seperti yang kita duga,” si genius itujustru berkata yakin sekali. ”Bagaimana kalau jadi hilang betulan?” Seli ikut cemas. ”Tidak akan. Si tinggi kurus menyebalkan itu di aula juga bilang, Ratidak bisa menghilangkan sesuatu yang sudah hilang di dunia ini.” DahiAli berkerut, dia tampak berpikir. ”Itu pasti ada maksudnya, bukan?Sesuatu yang sudah hilang…. Kita tidak punya cara lain. Kita harus tahusegera apa yang sebenarnya terjadi. Miss Selena, apa pun kondisinya, saatini butuh bantuan. Buku ini bisa memberikan jalan keluar.” Aku menelan ludah. Menatap Ali yang sekarang meletakkan bukuPR matematikaku di atas meja belajar, mempersilakanku. Baiklah, Ali benar. Aku menatap buku PR itu, mengacungkanjemari, berseru dalam hati. Menghilanglah! Buku PR itu lenyap. Aku menahan napas, juga Seli di sebelahku. Satu detik berlalu. Tidak terjadi apa pun. Dua detik, empat detik,aku menoleh ke Ali. Bagaimana ini? Ali tetap menunggu dengan detik. Aduh, bagaimana kalau keliru? Seli ikut menatap pula kami harus percaya pada genius biang kerok ini? Suara seperti gelembung air meletus terdengar. Buku PR-kukembali. Aku dan Seli berseru tertahan, seruan gembira. ”Apa kubilang.” Ali mengepalkan tangan. ”Buku PR ini pasti muncullagi. Miss Selena sudah membuat buku PR-mu menjadi benda dari dunialain. Tidak bisa dihilangkan.” Aku menoleh ke Ali. ”Bagaimana kamu bisa yakin sekali?” Si genius menyebalkan itu menunjuk kepalanya sambil nyengirlebar. Maksud dia apa lagi kalau bukan aku punya otak brilian. Baiklah, “Bumi” 160sepertinya Ali memang pintar. Aku me­langkah men­dekati meja belajar,menatap buku PR-ku yang kembali muncul. Tapi itu bukan buku PR-ku. Aku sama sekali tidak mengenali­nyalagi. Ukuran dan bentuknya memang sama persis, seperti buku PR-ku,tapi hanya itu yang sama. Sisanya berbeda sekali. Tidak ada lagi sampulHello Kitty. Sampulnya berwarna gelap terbuat dari kulit, dengan gambarbulan sabit cetak timbul. Seperti ada sesuatu dengan gambar bulan sabit itu, bekerlap-kerlip. Ali meloncat ke dinding kamar, menutup semua daun jendela,menarik gorden, mematikan lampu, memastikan tidak ada lagi cahayayang masuk. Apa yang sedang dilakukannya? Ali kembali ke sebelahku, menunjuk ke atas meja belajar. Gambarbulan sabit di sampul buku PR-ku mengeluarkan sinar, terlihat indah dikamarku yang remang. ”Ini keren sekali. Kamu yang buka, Ra,” Ali berbisik. Suaranyaterdengar antusias. ”Kenapa harus aku?” aku bertanya. ”Ladies first.” Ali nyengir lebar. Aku melotot padanya. ”Eh, maksudku, ini jelas bukan buku PR biasa lagi, Ra. Ini bendadari dunia lain, atau entahlah.” Ali menggaruk kepalanya, berusahamembela diri. ”Jadi, eh, lebih baik kamu yang me­nyentuhnya. Kamusepertinya yang punya urusan dengan dunia lain itu.” Seli memegang lenganku, menghentikan perdebatan. Selime­nunjuk buku di hadapan kami. Buku itu bersinar semakin terang. Bulan sabitnya seolah ter­lepasdari sampul buku. Terlihat mengambang indah. Aku me­nelan ludah “Bumi” 161menatapnya. Seperti ada suara yang memanggilku, menyuruhkumenyentuh buku itu. Tanganku terulur gemetar. Baiklah, aku akan melakukannya. Apapun yang terjadi, aku tidak sempat memikirkannya lebih baik. Sampul buku terasa lembut di jemariku. Tidak ada yang ter­jadi. Aku menoleh ke arah Ali. Ali mengangguk. ”Buka saja, Ra.” Belum sempat aku menggerakkan sampul buku, sinar dari gambarbulan sabit merambat ke telapak tanganku, terus naik ke pergelangantangan, lengan, dan bahu. Aku menahan napas. Sinar itu terasa hangat,dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh­ku, dan terakhir tiba di tubuhku terbungkus sinar dari buku. Aku menatap ke cerminmeja belajar. Wajahku terlihat cemerlang, persis seperti wajah Miss Selenadi aula tadi. Seli yang berdiri di belakangku menahan napas. Ali menatapsemangat, seperti melihat hasil reaksi praktikum fisika yang menarik—sigenius ini benar-benar berbeda dibanding siapa pun. Rasa ingin tahunyamengalahkan kecemasan atau ketakut­an. Terdengar suara gelembung air meletus. Sekarang terdengar lebihkencang dari biasanya. Tidak ada yang hilang. Aku menatap sekitar, memeriksa. Juga tidakada yang datang. Itu tadi pertanda suara apa? Tetapi tiba-tiba akuberseru tertahan. Astaga! Lihatlah. Semua di sekitar kami telah bukan kamarku, bahkan ini entah ruang­an apa. Tempat tidurnyamenggantung di dinding. Lampunya berbentuk aneh sekali, menyalaterang. Meja, kursi, semuanya berbentuk aneh. Lemari, kalau itu bisadisebut lemari, terbenam di dinding. Seprai dan bantal dipenuhi gambaryang ganjil. Semua terlihat berbeda. ”Kita ada di mana?” Seli ikut memeriksa sekitar, bertanya ce­mas. Aku menggeleng tidak tahu. Cahaya yang membalut sekujurtubuhku hilang. Buku PR di atas meja—kini meja itu terlihat aneh “Bumi” 162se­kali—juga berhenti mengeluarkan sinar, teronggok seperti buku biasadengan sampul bulan sabit. Sebelum kami sempat menyadari apa pun, terdengar suarabercakap-cakap di luar, dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kami bertiga saling tatap, jelas sekali suara itu menuju ke tempatkami. Pintu berbentuk bulat didorong—aku belum pernah melihat pintuseaneh itu. Tiga orang melangkah masuk ke dalam ruang­an. Dua orangdewasa setengah baya dan satu anak laki-laki berusia empat mengenakan baju gelap yang ganjil. Si kecil terlihat menguap,memeluk boneka yang lagi-lagi berbentuk aneh. Ibunya, sepertinya begitu,tersenyum, menunjuk ke ranjang. Ayahnya, sepertinya juga begitu,berkata dengan kalimat-kalimat yang tidak kami pahami. Mereka mereka bertiga lebih aneh dibanding film-film fantasi mana pun. Langkah si kecil terhenti. Dia berseru bingung, menunjuk lebih kaget lagi. Kami berenam saling tatap. Si kecilketakutan, refleks memeluk ibunya. Ini jelas bukan kamarku, sama sekali bukan. Bahkan aku mulairagu, ini bahkan tidak akan pernah ditemukan di kota kami. Semuaterlihat ganjil. Apakah aku berada di dunia mimpi? Ayah si kecil maju, bicara dengan kalimat aneh. Sepertinya diabertanya kepada kami. Wajahnya bingung, me­nyelidik. Seli merapat kepadaku. Ali tetap mematung di tempat. Dia sempatmemasukkan buku PR matematikaku ke dalam tas ranselnya sebelumtiga orang tersebut masuk. Ayah si kecil berseru-seru. Dia tidak terlihat marah. Dia lebihterlihat kaget. Si kecil masih memeluk erat ibunya. Aku menelan ini? Sang ayah melangkah lebih dekat, me­natap kami bertigabergantian, menoleh kepada istrinya, berkata-kata dengan kalimat anehlagi. Sepertinya dia bilang pada istrinya, ”Lihatlah, pakaian mereka anehsekali. Siapakah tiga anak ini? Apakah mereka tersesat? Bagaimana “Bumi” 163mereka masuk ke dalam rumah kita? Apakah kita perlu memanggilpetugas ke­aman­an?” Sambil masih memeluk si kecil, istrinya ikut maju, menyelidik,menatap kami bertiga. Wanita itu menggeleng. Dia berkata, ”Sepertinyatiga anak ini sama bingungnya, kasihan sekali. Tidak ada yang perludicemaskan, mereka sepertinya tidak berbahaya. Apakah mereka dari luarkota, salah masuk ke dalam rumah karena tidak terbiasa? Atau karenajaringan trans­por­tasi kembali bermasalah?” Pasangan baya itu masihberbicara satu sama lain. Si kecil memberanikan diri mengintip kami. Aku tiba-tiba terdiam. Eh? Aku? Entah bagaimana caranya, akusepertinya mengerti kalimat yang mereka katakan. Hei! Aku sepertinyatahu apa yang sedang mereka diskusikan. ”Maaf,” aku berkata pelan, mengangkat tangan. Pasangan itu menoleh. ”Maaf, kami tidak salah masuk kamar.” Aku menggeleng. ”Tadi kamiberada di kamarku, di rumahku, lantas tiba-tiba saja kami sudah pindahke kamar ini.” Ayah si kecil mendekat. ”Apakah kalian sebelumnya sedangmenggunakan lorong berpindah?” Aku menoleh kepada Ali. ”Eh, Ali, lorong berpindah itu apa? Apakahitu istilah fisika modern?” Yang kutoleh jangan­kan men­jawab. Ali danSeli bahkan bingung melihatku kenapa bisa bicara dengan bahasa anehitu. ”Kalian sepertinya mengalami kekacauan sistem lorong ber­pindah.”Ayah si kecil menghela napas prihatin. ”Minggu-minggu ini frekuensinyasemakin sering terjadi. Tapi setidak­nya kalian muncul di kamar anakku,tidak serius. Tiga hari lalu, istriku yang hendak pergi ke pasar tiba-tibamuncul di atas wahana kereta luncur. Gila sekali, bukan? Dia tidakmuncul di depan pedagang sayur, tapi di tengah orang-orang yang sedangmenjerit ketakutan.” Aku menelan ludah, mengangguk, pura-pura mengerti. “Bumi” 164 ”Kamu temani si kecil tidur, Ma. Aku akan membantu tiga anakmalang ini. Tidur bareng Mama, ya? Papa akan menemani tiga kakak-kakak itu.” Lelaki itu bicara pada istri dan anaknya. Ibu si kecil menuntun anaknya ke tempat tidur yang meng­gantungdi dinding. Bentuknya sama seperti ranjang umumnya, tetapi berada duameter di dinding. Saat si kecil mendekat, tempat tidur itu turun dan si kecil naik ke atasnya. Ranjang itu kembali naik. ”Ayo, lambaikan tangan ke kakak-kakak. Selamat malam.” Ayah sikecil tersenyum. Si kecil beranjak ke pinggir ranjang, melambaikan tangan ke­padakami. ”Selamat malam.” Aku mengangkat tangan, balas melambai. Seli dan Ali, meskibingung, meniruku segera, ikut melambaikan tangan. ”Ayo, kalian ikuti aku.” Ayah si kecil sudah menepuk pundak­ku,berkata ramah. Aku masih bingung dengan ini semua. Susul-menyusul sejakkejadian meledaknya gardu listrik tadi siang. Sekarang, bahkan kamiberada di mana aku tidak tahu. ”Semua orang sudah membicarakan kekacauan sistem trans­portasiini. Tapi tidak ada tanggapan serius dari Komite Kota. Mereka selalubilang itu hanya masalah teknis kecil.” Ayah si kecil membuka pintubulat, menyilakan kami keluar kamar. ”Kamu mau mendengar dongeng?” Di belakang kami, ibu si kecilberkata pelan. ”Aku ingin mendengar dongeng tentang Si Burung SiangMerindukan Matahari, Ma,” si kecil menjawab riang. ”Aduh, dongeng itu lagi, Nak? Sudah seminggu terakhir kamumendengarnya, bukan? Tidak bosan?” ibunya bertanya lembut, tertawa. Aku melangkah menuju pintu bulat. “Bumi” 165 Seli memegang lenganku, berbisik, ”Kita akan ke mana, Ra?” ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pelan. ”Apakah mereka sama jahatnya dengan si tinggi kurus di aulasekolah tadi?” Aku menggeleng, selintas lalu mereka hanya keluarga biasa yangbahagia, dengan anak kecil usia empat tahun. Sang ayah menutup pintubulat kamar, melangkah ke lorong remang. ”Coba saja kalau mereka sendiri yang hendak berangkat be­kerjatiba-tiba muncul di depan seekor binatang buas yang sedang membukamulut, pasti baru tahu betapa menyebalkannya masalah teknis kecil ini,”ayah si kecil masih berseru santai, me­mimpin jalan di depan. Kamimelewati lorong, kemudian mun­cul di ruangan lebih besar. Sepertinya ini ruang tengah sebuah rumah. Ada sofa-sofa bundaryang melayang satu jengkal dari lantai. Sebuah meja tampak berbentukjanggal, jauh sama sekali dari segi empat atau persegi panjang, dan diatasnya ada sebuah vas bunga. Aku mengembuskan napas, setidaknyabunga di vas aneh itu bentuknya sama seperti yang kukenali, terlihatsegar. Entah di mana pun kami sekarang berada, itu bunga mawar sepertipada umumnya. “Bumi” 166 ILAKAN duduk. Anggap saja rumah sendiri. Jangan haus? Akan kuambilkan minuman. Kondisi kalian terlihat kotor, dan astaga, pakaian kalian aneh sekali. Kalian pastidatang dari tempat jauh. Tidak akan ada anak remaja kota ini yang mauberpakaian seperti ini, se­perti model seratus tahun lalu. Sebentar, akankuambilkan air minum dan handuk basah.” Ayah si kecil tertawa. Diame­langkah menuju pintu bulat lainnya, meninggalkan kami bertiga diruang tengah. Senyap sebentar. ”Kita ada di mana, Ra?” tanya Ali. ”Aku tidak tahu.” ”Apakah orang aneh tadi menyebutkan nama tempat ini?” Aku menggeleng pelan. ”Bagaimana kamu bisa bicara bahasa mereka?” Seli memeganglenganku, tampak penasaran. ”Aku tidak tahu, Sel. Aku tahu begitu saja.” Aku menyeka wajahyang berdebu. Ada banyak sekali hal yang tidak bisa kujawab sekarang. Ali bergumam sendiri, berhenti menumpahkan pertanyaan. Diamemilih memperhatikan sekitar, lalu beranjak hendak duduk di sofa bulatyang melayang di dekat kami. Dia me­loncat. Sofa itu seketika berputarsaat didudukinya. Ali ter­gelincir, tangannya hendak meraih sesuatu, tapiterlambat. Dia jatuh ke lantai, mengaduh pelan. ”Ini tempat duduk yang aneh sekali.” Ali berdiri, menatap sofa yangberhenti berputar, kembali ke posisinya semula. Si genius keras kepala itumencoba dua kali untuk duduk di sofa bulat, tapi dua kali pula diaterjatuh. “Bumi” 167 Aku dan Seli menonton, diam. ”Baiklah. Aku tidak akan menyerah.” Ali bersungut-sungut. Kali inidia menatap baik-baik sofa bulat di depannya, me­megang­nya perlahan,lantas naik perlahan, menjaga keseimbang­an. Ali nyengir lebar. Diaberhasil. ”Kalian mau mencobanya?” Ali berseru riang. ”Ini persis se­pertibelajar naik sepeda. Sekali kita terbiasa, maka mudah saja.” Aku dan Seli saling tatap. ”Ayo, coba saja, Ra, Seli, ini seru sekali. Kalian tahu, entahbagai­mana mereka melakukannya, sofa ini benar-benar melayang di ataslantai. Ini hebat sekali. Bahkan kupikir, lembaga paling canggih macamNASA Amerika sekalipun tidak punya teknologi ini.” Ali mencoba sofabulat itu berputar. Dia berhasil mem­buatnya bergerak mulus. Ali tertawasenang. ”Apa yang kamu lakukan?” aku berbisik mengingatkan Ali. Kami jelas tidak sedang study tour, kami sedang tersesat. Sifat Aliyang selalu santai kemungkinan bisa berbahaya. Si genius itu se­karangbahkan asyik mencoba sofa bulat yang dia duduki, bergerak naik-turun. Ali menatapku dengan wajah tanpa dosa. ”Maaf membuat kalian menunggu.” Ayah si kecil kembali, terlihatriang, membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya, juga tiga handukbasah. ”Oh, kamu sudah mencobanya? Bagaimana? Itu jenis sofa palingmutakhir.” Lelaki itu tertawa melihat Ali ber­gegas me­nurunkan sofanyakembali ke posisi semula—Ali ter­lihat sedikit panik, karena ketahuanmenaik-turunkan sofa ter­sebut tanpa izin pemiliknya. ”Dia bertanya apa?” Ali berbisik kepadaku. ”Dia bilang, kamu tamu yang sama sekali tidak tahu sopan santun,”aku menjawab asal. “Bumi” 168 ”Sungguh?” Ali menatapku tidak percaya. ”Silakan diminum.” Ayah si kecil mengangguk ramah kepada kami. Aku menatap gelas aneh yang lebih mirip sepatu kets. Baik­lah, akumeraih gelas terdekat, mengangkatnya. Isinya air bening biasa, setidaknyaterlihat begitu. Aku menenggaknya. Ternyata rasanya segar sekali. Seli menatapku ragu-ragu. Aku mengangguk kepadanya. Tidak adayang perlu dicemaskan. Itu hanya air bening biasa, bahkan setelahberbagai kejadian tadi, menghabiskan air se­banyak satu gelas berbentuksepatu terasa melegakan. ”Namaku Ilo, siapa nama kalian?” ayah si kecil bertanya, sam­bilmenyerahkan handuk basah. Aku menjawab sopan, menyebut namaku, Seli, dan Ali. Lelaki itu menggeleng. ”Nama kalian terdengar aneh. Kalian berasaldari mana?” Aku menelan ludah, ragu-ragu menyebutkan nama kota kami. Selidan Ali di sebelahku sudah menghabiskan minum mereka. Kini me­rekasedang membersihkan wajah dan sekujur badan dengan handuk. Ilo, demikian nama ayah si kecil itu, lagi-lagi menggeleng. Wajahnyatermangu. ”Belum pernah kudengar nama kota seperti itu. Kaliansepertinya tersesat dari jauh.” ”Kami sekarang berada di mana?” aku balik bertanya, teringatpertanyaan Seli dan Ali sejak tadi. Kenapa tidak kutanyakan saja kepadaorang berpakaian gelap ini. ”Kota Tishri.” ”Kota Tishri?” aku mengulanginya. ”Benar sekali, Kota Tishri. Kota paling besar, paling indah. Tempatseluruh negeri ingin pergi melihatnya. Nah, apa kubilang tadi, setidaknya “Bumi” 169kabar baiknya, lorong berpindah sialan itu membawa kalian pernah ke Kota Tishri?” Aku menggeleng. Seli dan Ali tetap termangu, tidak mengertipercakapan. ”Fantastis.” Ilo mengepalkan tangan, berseru riang. ”Ayo, kalianikuti aku. Akan kutunjukkan pemandangan menakjubkan kota ini. Kalianpasti sudah lama bercita-cita ingin melihatnya lang­sung. Selama inikalian hanya bisa menyaksikannya di buku, bukan? Astaga, kebetulansekali, ini persis bulan purnama, kota ini terlihat berkali-kali lebih indah.” Lelaki itu sudah berdiri. Malam bulan purnama? Bukankah tadi baru saja siang? ”Apa yang dia bilang, Ra?” Seli berbisik. ”Dia ingin menunjukkan kota ini kepada kita.” ”Buat apa? Bukankah kita setiap hari melihat kota kita?” Aku menggeleng. Entahlah. Aku juga tidak paham. ”Apa serunya melihat kota di siang hari?” Seli masih ber­bisik. Aku menghela napas perlahan. Sejak tadi aku punya firasat kamisama sekali tidak sedang berada di kota kami. Bahkan boleh jadi kamiberada di tempat yang amat berbeda. ”Ini pasti seru.” Ada yang tidak keberatan. Ali meloncat turun darisofa bulat. Ilo memimpin di depan, melewati pintu bulat, kembali ke lorongremang, dan tiba di depan anak tangga. Ilo rileks me­langkah tangga itu berpilin naik sendiri saat kaki kami seperti eskalator pada umum­nya, tapi anak tangga yangkupijak terbuat dari kayu berukir. Tiba di ujung anak tangga, ruangan atas tampak gelap. Sambilber­senandung, Ilo membuka pintu di langit-langit ruangan. Pintu itu “Bumi” 170terbuka. Cahaya lembut masuk ke dalam. Aku men­dongak melihat keatas. Bintang gemintang terlihat terang. Ini malam hari? Bukankah...?Aku mengusap wajah, bi­ngung. Sekarang pertanyaannya bertambah, bagaimana kami bisa keluarke atas sana? Bukankah pintu di langit-langit ruangan se­tinggijangkauan tangan Ilo? Tidak ada tangga lagi. Kami ber­tiga saling lirik,tidak mengerti. Ilo berdiri persis di bawah bingkai pintu. ”Ayo, kalian mendekat padaku.” Dia menoleh pada kami. Aku menelan ludah. Sudah kadung sejauh ini, tanpa banyak tanyaaku ikut mendekat. ”Ayo, jangan ragu-ragu. Lebih rapat.” Aku merapat di sebelahnya, juga Seli dan Ali setelah kuberi­tahuagar lebih rapat. Apakah kami akan melompat ke atas? Terbang? Ilo justru meraih daun pintu di atas, menariknya ke bawah. Daunpintu itu turun, pindah setinggi mata kaki kami. Kami se­ketika berada diatap bangunan. Ali, si genius di sebelahku, bahkan tidak mampumenahan diri untuk tidak berseru. Ilo tertawa. Dia melangkah kesamping, meninggalkan daun pintu yang terbuka, berdiri di atap. Akubergegas ikut melangkah, juga Seli, khawatir pintu itu tiba-tiba kembalike posisi di atas. ”Kamu tidak mau tertinggal di bawah sendirian, bukan?” Ilomenoleh ke Ali yang masih sibuk memeriksa. Wajah Ali ber­ caranya daun pintu ini bisa turun? Apa­kah seluruh atapbergerak ikut turun? Atau daun pintunya saja? Aku bergegas menarik lengan si genius itu agar melangkah ke atapbangunan. Setelah semua berdiri di atap, aku melongok ke bawah. Lantairuangan kembali terlihat jauh. Entah bagaimana caranya, daun pintusudah kembali ke posisi semula. “Bumi” 171 ”Selamat datang di Kota Tishri!” Ilo berseru lan­tang. Aku mendongak, mengangkat kepala menatap ke depan. Aku menahan napas, mematung. Itu sungguh pemandangan yangmembingungkan. Aku pernah diajak Papa dan Mama pergi ke restoran yang berada dilantai paling atas gedung paling tinggi di kota, melihat seluruh kota. Tapimalam ini, yang aku lihat jelas bukan kota kami. Tidak ada hamparangedung-gedung tinggi, tidak ada pemandangan yang kukenal. Punbangunan yang kami naiki, ini bukan rumah, bukan apartemen sepertikebanyakan. Bentuk­nya seperti balon besar dari beton, dengan tiang. Disekitar kami, ribuan bangunan serupa terlihat memenuhi seluruh lembah,persis seperti melihat ribuan bulan sedang mengambang di udara. Itulahpemandangan yang kami saksikan sekarang. ”Kita di mana?” Seli bertanya, suaranya bergetar bingung. ”Ini keren!” Ali berseru, suaranya juga bergetar antusias. Ini bukan kota kami. Bahkan jelas sekali, tidak ada kota di Bumiyang seperti ini. Tidak ada jalan di bawah sana, apalagi kendaraan sepertimobil dan motor. Hanya hamparan hutan—kalau itu memang hutanseperti yang terlihat dari atas sini. Bulan purnama menggantung di langit,terlihat lebih besar dibanding biasa­nya. Cahayanya lembut dan indah. Disisi barat kota ter­lihat gunung, bentuknya sama seperti gunung yang adadi kota kami, juga pantai di sisi timur, itu sama. Tapi hanya dua hal ituyang sama. Sisanya berbeda. Beberapa tiang tinggi terlihat di kejauhan. Setiap tiang me­milikipuluhan cabang, dengan ujung cabang lagi-lagi sebuah balon besar daribeton, bersinar. Ilo menjelaskan dengan bangga tentang kotanya. ”Kota ini palingmaju, paling cemerlang. Kota ini juga paling efisien meng­gunakansumber tenaga yang semakin terbatas. Terlepas dari masalah teknis kecilyang sekarang sedang menimpa kalian, kami memiliki sistem transportasipaling baik. Kalian lihat di ujung sana, itu menara Komite Kota.” “Bumi” 172 Aku tidak terlalu mendengarkan. Kepalaku dipenuhi begitu banyakpertanyaan. Seli masih menatap dengan cemas ke seluruh arah. Diasempat berbisik, ”Kita tidak berada di kota kita lagi ya, Ra?” Aku mengangguk. ”Kita berada di tempat yang jauh sekali.” ”Bagaimana kita pulang?” Seli bertanya. Aku menggeleng. ”Entahlah.” Wajah Seli sedikit pucat. Hanya Ali yang terlihat tenang, menatap sekitar dengan se­mangat. ”Besok malam adalah malam karnaval festival tahunan. Jika kalianmenunggu sehari saja, kalian bisa menyaksikan festival ter­besar. Seluruhkota dipenuhi pelangi malam hari. Semua bangun­an tersambung olehkabel yang dipenuhi lampu warna-warni. Putraku yang berusia empattahun tidak sabar menanti­kan­nya.” Ilo membentangkan tangan, masihasyik menjelas­kan. Angin berembus lembut, menerpa wajah, memainkan anak mendongak menatap langit. Kami ada di mana? Gunung, pantai,sungai, juga posisi bulan dan bintang sama persis seperti di kota sisanya berbeda. Bangunan rumah seperti balon? Hampir setengah jam kami berada di atap bangunan. Hingga Ilodiam sejenak, berkata, ”Sudah larut malam. Kita sebaiknya turun. Kalaukalian mau, malam ini kalian bisa menginap di tem­patku. Ada kamarkosong. Tidak terlalu lapang untuk ber­tiga, tapi cukup nyaman. Besokpagi-pagi aku akan membantu mengirim kalian pulang ke rumah.” Kami bertiga tidak berkomentar. Aku mengangguk. Ilo membungkuk. Dia membuka daun pintu di atap. Lantai ruangandi bawah terlihat mendekat. Dia menyuruh kami me­langkah bisa melangkah dengan mudah. Ilo me­lepas pegangan ke daunpintu. Daun pintu itu perlahan kembali ke atas. Langit-langit ruangankembali tinggi. Ilo menutup pin­tu. “Bumi” 173 ”Ini keren sekali, Ra,” Ali berbisik padaku. ”Jika semua pintu bisaditarik begini, di sekolah kita tidak perlu repot ke mana-mana. Tarikpintunya mendekat, kita tinggal melangkah masuk atau keluar, beres.” Aku tidak menanggapi celetukan Ali. Ilo memimpin di depan. Kami diantar menuju pintu bulat di loronglain. Itu kamar yang besar. Dua kali lebih luas dibanding kamar si kecil. ”Kalian bisa menggunakan kamar ini. Ada beberapa pakaian yangbisa kalian gunakan di lemari. Beberapa sepertinya cocok. Ini dulu kamarsi sulung. Dia masuk akademi di kota lain. Usia­nya delapan belas. Jikakalian butuh sesuatu, kamarku berada di ujung lorong satunya. Selamatmalam, anak-anak.” ”Selamat malam.” Aku mengangguk, menjawab sopan. Ilo menutup pintu, meninggalkan kami. “Bumi” 174 AMAR itu lengang sejenak. Isinya kosong karena lama tidakditempati. Hanya ada ranjang besar di dinding, satu sofa melayang, dansatu lemari berbentuk lebih mirip botol air mi­neral raksasa. Ali sempatmelihat isi dalam lemari, mengeluarkan beberapa pakaian gelap yanglengket di tangan. Aku dan Seli menggeleng, lebih baik tetap mengenakanseragam sekolah kotor dibanding pakaian lengket ini. Ali sebaliknya. Dia mencoba memakai salah satu pakaianber­bentuk jaket yang kebesaran. Saat dikenakan, pakaian lengket ituseolah bisa berpikir sendiri, mengecil dengan cepat, lantas me­nempelsempurna ke seluruh tubuh. ”Wow!” Ali ber­seru ter­pesona—bahkan diabergaya di depan cermin, menggerakkan tangan­n­ya yang tertutup jaket.”Lentur, ringan, dan lembut di badan.” Ali nyengir lebar, seperti bintangiklan detergen di tele­visi. Melihat Ali dengan pakaian aneh itu, setidaknya aku tahu jenispakaian yang dikenakan Tamus dan delapan orang di aula tadi. Akumenghela napas, beranjak duduk sem­barang di lantai. Aku tidak maududuk di sofa yang bisa me­layang, atau ranjang yang bisa lantai kayu yang kududuki terlihat normal. Seli ikut duduk disamping­ku. Ali, lagi-lagi sebaliknya, si genius itu sudah meloncat santaike atas sofa melayang. Dia sudah terampil, tidak ter­gelincir. ”Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?” Seli berbisik. ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pendek. Seli menghela napas, bergumam, ”Ini benar-benar mungkin sekarang sudah malam? Bukankah baru satu-duajam lalu kita dari aula sekolah?” ”Entahlah, Sel. Aku juga bingung.” ”Kita tidak bisa menginap di bangunan aneh ini, Ra. Kalau kitaterlalu lama di kota ini, kita jelas terlambat pulang ke ru­mah. Orangtua “Bumi” 175kita pasti cemas, dan mulai panik mencari ke mana-mana,” Seli berkatapelan, meluruskan kaki. Aku menoleh. Seli benar. Apalagi dengan kejadian meledak danterbakarnya gardu listrik, ditambah lagi bangunan kelas dua belas yangambruk. Pertemuan Klub Menulis pasti dibatalkan. Orang­tua muridsegera mencari tahu kabar anak-anak yang be­lum pulang. Saat Mamatidak menemukanku di sekolah, Mama akan panik, seluruh keluargaakan ditelepon, siaga satu—bahkan jangan-jangan Mama akan memaksaTante Anita memasang iklan kehilangan di televisi. Aku mengeluh,menggeleng mem­bayang­kan hal menggelikan itu. Kasihan Mama, belumlagi ma­sa­lah Papa di kantor. Kenapa semuanya jadi kusut begini? ”Masalahnya, kalaupun mereka mencari kita, mereka akan men­carike mana?” Ali mendekat—tepatnya sofa yang dinaiki Ali yang mendekat,melayang di depan kami. ”Mereka akan me­minta bantuan polisi?Detektif? Aku berani bertaruh, bahkan agen rahasia macam FBI pun tidaktahu di mana kota ini ber­ada.” Kami menatap si genius itu, tidak mengerti. ”Saat di atap bangunan balon tadi, aku memperhatikan sekitarsecara saksama. Kalian tahu, aku hafal posisi kota kita, hafal letak bulan,bintang.” Ali menunjuk kepalanya—maksudnya apa lagi kalau bukan diapunya otak brilian. ”Aku tahu letak gunung, pantai, sungai, semua konturkota kita. Kalian tahu, ada sesuatu yang menarik sekali.” Kami menatap Ali tanpa berkedip. ”Mereka akan mencari kita di kota mana, kalau ternyata kita persisberada di kota kita sendiri?” Ali mengangkat bahu. ”Aku tidak mengerti, Ali,” Seli memastikan. ”Kita tidak ke mana-mana, Seli. Aku yakin sekali. Ini tetap kotakita, hanya entah kenapa seluruh rumah, bangunan, gedung tinggi dikota kita berganti dengan hutan dan balon-balon beton raksasa. Bahkansaat ini, kemungkinan kita sedang berada di salah satu ruangan rumahRa. Entah di ruang tengah atau ruang tamu.” “Bumi” 176 ”Tapi… tapi bagaimana dengan...” Seli menunjuk sekeliling kami. ”Itulah yang membuat semua ini menarik.” Ali ber­se­dekap,ber­gaya seperti profesor fisika terkemuka. ”Kita berada di tempat yangsama, tapi dengan sekeliling yang amat berbeda. Bah­kan orang-orangyang berbeda.” ”Kamu sebenarnya hendak bilang apa sih?” Aku akhirnya bertanya,tidak sabaran. Tidak bisakah dia menjelaskan lebih detail? Denganbahasa yang lebih mudah dimengerti. Ali mengangguk. Dia meloncat turun dari sofa melayang,me­ngeluarkan buku tulis dari ransel yang selalu dia bawa ke mana-mana, mengambil bolpoin. ”Kalian perhatikan.” Ali membuka sembarang halaman ko­song. Diamulai menggambar. Aku dan Seli tahu apa yang sedang dia gambar, sebuah lapang­anfutsal. Lantas, Ali menggambar lagi sebuah lapangan bulu tang­kis di ataslapangan futsal tersebut, juga lapangan basket. Terakhir sebuah lapanganvoli. Empat lapangan itu bertumpuk di atas kertas. Ali menggambarbingkai di sekeliling kertas. ”Ini persis seperti aula sekolah kita, bukan? Ada empat lapang­anolahraga di atas lantainya.” Ali menatapku dan Seli ber­ganti­an. Aku dan Seli mengangguk. ”Nah, aku hanya menduga, bisa jadi keliru, tapi kemungkin­anbesar tepat, inilah yang sedang terjadi di sekitar kita. Dunia ini tidaksesederhana seperti yang dilihat banyak orang. Aku per­caya sejak dulu,bahkan membaca lebih banyak buku di­banding siapa pun karenapenasaran, ingin tahu. Bumi kita me­miliki kehidupan yang rumit. Danhari ini aku menyaksikan sendiri, ada sisi lain dari kehidupan selain yangbiasa kita lihat sehari-hari. Dunia lain. ”Kalian perhatikan aula sekolah kita. Ada empat lapangan olah­ragadi atasnya, bukan? Jika kita ingin bermain futsal, pasang tiang “Bumi” 177gawangnya. Jika kita ingin bermain basket, tarik tiang basketnya. Maka diBumi, bisa jadi demikian, ada beberapa kehidupan yang berjalan diatasnya. Berjalan serempak di atas­nya.” ”Tapi kita tidak bisa bermain voli, basket, badminton, dan futsalserempak di aula, Ali.” Seli menggeleng. ”Akan kacau­balau, pemainbertabrakan, bolanya lari ke mana-mana.” ”Itu benar.” Ali mengangguk. ”Tapi bukan berarti tidak mung­ jelas lebih besar dibanding aula sekolah. Saat kapa­sitasnya besar,Bumi bisa berjalan tanpa saling ganggu. Persis seperti sebuah komputeryang membuka empat atau lebih pro­g­ram. Bukankah kita bisamenjalankannya bersamaan? Membuka internet, membuka dokumen,membuka pemutar musik, dan mengedit foto sekaligus? Ada banyakprogram yang berjalan serentak tanpa saling ganggu. Kecuali jikakomputernya terbatas, bisa hang atau error. ”Aku yakin sekali, beberapa sisi kehidupan di Bumi bisa berjalanserentak tanpa saling ganggu, berantakan, dan bolanya lari ke mana-mana. Setidaknya aku sudah menyaksikan dua sisi. Sisi pertama,kehidupan di Bumi seperti yang kita jalani selama ini. Sisi kedua, kotaaneh ini, bangunan aneh ini, dan semua benda yang aneh di sekitar sisi itu berada di satu Bumi, berjalan tanpa saling memotong.” Ruangan itu senyap sejenak. ”Kalau hal itu memang ada, kenapa selama ini tidak ada orang yangmengetahui bahwa ada dunia lain tersebut di Bumi?” Seli bertanya lagi. ”Yang pertama karena dua dunia itu terpisah sempurna. Yangkedua, karena kita terbiasa dengan kehidupan sendiri. Jika sese­orangsibuk bermain futsal di aula sekolah, lantas yang lain sibuk bermainbasket, mereka hanya sibuk dengan permain­an masing-masing, tanpamenyadari ada dua permainan berjalan serentak. Nah, kalaupun ada yangtahu, mereka hanya bisa men­duga, bilang mungkin ada alam gaib ataudunia lain di luar sana. Tapi mereka tidak pernah mampumenjelaskannya.” Ali men­jelaskan dengan intonasi yakin. ”Kalau begitu, ada berapa sisi kehidupan yang berjalan se­rempakdi Bumi?” aku akhirnya membuka mulut. Sebenarnya penjelasan Ali sama “Bumi” 178sekali tidak masuk akal. Tapi aku tidak tahu harus bagaimanamembantahnya. Aku me­mutus­kan ber­tanya. ”Tidak tahu. Yang pasti, sosok tinggi kurus di aula tadime­nyebutku Makhluk Tanah’, orang-orang lemah. Itu satu. Dia pastimerujuk penduduk Bumi saat ini. Dia juga menyebut Seli dengan sebutanKlan Matahari yang berjalan di atas tanah. Itu dua. Terakhir tentu sajadunia yang kita lihat sekarang. Aku tidak tahu namanya, kita sebut sajaKlan Bulan, karena di mana-mana ada Bulan termasuk bangunan balonini. Itu berarti tiga. Mungkin masih ada lagi dunia lain yang berjalanserentak, tapi aku tidak tahu. ”Dan aku tahu kenapa kamu bisa mengerti dan berbicara dalambahasa mereka, Ra. Sosok tinggi kurus menyebalkan itu berkali-kalibilang kamu tidak dimiliki dunia Bumi, bukan? Kamu dimiliki dunia kitasekarang berada. Itu masuk akal. Aku tidak tahu penjelasan detailnya,sepertinya kamu menguasai begitu saja bahasa mereka.” Ali mengangkatbahu. Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Entahlah,apakah aku bisa memercayai penjelasan si genius ini. ”Kalian tahu, ini keren. Bahkan Einstein tidak pernah bisamembayangkan ada dunia paralel di sekitarnya. Dia hanya bisamenjelaskan bahwa waktu bersifat relatif. Einstein mungkin saja benar,imajinasi adalah segalanya, lebih penting dibanding ilmu menyaksikan sendiri semua ini, mengetahui pengetahuan tersebut,lebih dari segalanya.” Ali nyengir. Aku bersandar ke dinding kamar, membiarkan si genius itu senangsendiri. ”Fisikawan, astronom, ahli matematika terkemuka Galileo Galileihanya bisa membuktikan teori Heliosentris Copernicus. Entah bagaimanareaksinya jika mendengar ada dunia lain berjalan serempak di atas dia akan seperti pen­dukung teori Geosentris, kaum fanatiktidak berpengetahuan, tidak percaya.” “Bumi” 179 ”Buku PR matematikamu, Ra.” Seli teringat sesuatu, me­motongkesenangan Ali. Aku menoleh kepada Seli. ”Bukankah kita bisa masuk ke dunia ini karena buku PRmate­matikamu tadi?” Seli berseru. ”Kita bisa kembali lagi ke kota kitadengan cara yang sama.” Seli benar. Aku bergegas hendak berdiri, mengeluh. Bukankahbuku itu tadi tertinggal di kamar si kecil? Karena kami telanjur bagaimana mengambilnya sekarang? Ali membuka tas ranselnya. ”Aku sudah membawanya, Ra.” Aku dan Seli menghela napas lega. ”Aku khawatir, kalian akan meninggalkan banyak benda jika tidakada yang berpikir dua langkah ke depan.” Ali tersenyum bangga. Aku menerima buku PR matematika dari Ali. Semangatme­letak­kannya di lantai kayu, menelan ludah, menatap buku itu,bersiap. ”Ayo, bersinarlah lagi,” aku berbisik. Satu menit berlalu tanpa terjadi sesuatu. ”Sayangnya, buku ini hanya buku biasa sekarang, Ra.” Alimeng­embuskan napas pelan. ”Aku sudah memikirkan kemungkin­an itutadi, sempat mengintip ke dalam tas ransel saat kita ber­ada di atapbangunan balon. Buku ini tidak mengeluarkan sinar apa pun lagi.” Lengang. Buku itu tergeletak di lantai. Gambar bulan sabit disampulnya tidak bersinar. Seli menatap amat kecewa. ”Bagaimana kita pulang, Ra?” Aku menatap Ali. Dia si geniusnya. Ali bangkit berdiri. ”Kita akan menemukan caranya. Mungkin tidakmalam ini. Tapi cepat atau lambat kita akan menemukan cara­nya. Setiapada pintu masuk, selalu ada pintu keluar.” “Bumi” 180 “Bumi” 181 KU memeluk Seli yang menangis, menghiburnya, bilang semua akanbaik-baik saja, termasuk di kota tempat kami entah berada di juga akan baik-baik saja. Semoga orang­tua kami tidak bereaksiberlebihan. Sebenarnya aku juga butuh dihibur. Aku cemas sekali me­mikirkanMama di rumah, tapi siapa yang akan menghiburku? Jelas Ali tidak akanmenghibur siapa pun. Anak itu memutuskan tidur. Ali berkata denganintonasi datar, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, sebaiknyaberistirahat, menyimpan energi buat besok. Aku tahu, apa yang dilakukan Ali adalah pilihan paling rasio­ tidak ada yang bisa kami lakukan. Ini sudah larut, jam didinding yang meskipun bentuknya lebih mirip panci, tapi setidaknyasama dengan jam yang aku kenal, ada dua belas angka—jarumpendeknya telah menunjuk pukul dua belas. Aku menatap lantai kayulamat-lamat. Entah di mana pun kami ber­ada, di dunia lain atau bukan,setidaknya malam ini kami punya tempat bermalam dengan tuan rumahyang ramah. Aku menolak tidur di atas ranjang. Ali yang memakainya setelahmenurunkan bantal-bantal, seprai, dan selimut. Ranjang itu segerabergerak ke langit-langit kamar. Ali di atas sana sempat berseru, bilangbetapa ajaib kasurnya, bisa menyesuaikan diri dengan kontur badan, jugalangit-langit persis di atas kepala­nya mengeluarkan cahaya lembut yangnyaman. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku menghamparkan sepraidan selimut di lantai, tidak lengket, seprainya tebal, empuk untukditiduri. Bantalnya juga menyenangkan, sama seperti kasur yangdiocehkan Ali di atas ranjang sana, mengikuti kontur kepala dan badansaat ditindih. ”Kamu harus tidur, Sel,” aku berbisik. Seli menyeka pipinya, mengangguk. ”Atau kamu butuh sesuatu untuk dimakan?” aku bertanyamemastikan. “Bumi” 182 ”Aku tidak lapar lagi, Ra.” Aku tersenyum. ”Besok kita akan pulang, dan segera ikut KlubMenulis Mr. Theo.” *** Tidur dalam situasi banyak pikiran memang tidak mudah. Tapidengan badan letih, sakit, ngilu, kami akhirnya jatuh ter­tidur, kemudianbangun kesiangan. Cahaya matahari me­nerobos daun jendela, menyinariwajah. Aku segera membuka mata. Ada yang sudah membuka gorden,bahkan sekaligus mem­buka jendela. Udara pagi yang segar terasa lembutme­nerpa wajah. Aku beranjak berdiri, memeriksa sekitar. Seli masih me­ringkuktidur, sepertinya dia yang terakhir jatuh tertidur tadi malam. Ranjang didinding kosong. Ali tidak ada. Aku melangkah ke jendela, menatap keluar. Kalau saja akumengerti apa yang sedang terjadi, ini sebenarnya pemandangan yangfantastis. Tiang-tiang tinggi dengan bangunan berbentuk balon berwarnaputih memenuhi lembah. Jauh di bawah sana, di dasar lembah,hamparan hutan lebat, memesona, dengan rombong­an burung belum pernah me­lihat hutan seindah ini, sejauh mata memandang. ”Kamu sudah bangun, Ra?” Aku menoleh. Ali keluar dari pintu bulat yang ada di ka­mar. ”Kamu harus mencoba mandi, Ra. Fantastis!” Ali tersenyum. Diasedang merapikan pakaian yang dia kenakan, menyisir ram­but­nya yangberantakan dengan jemari tangan—dan tetap berantakan meski berkali-kali dirapikan. ”Kamu habis mandi?” Aku menatap Ali. ”Apa lagi?” Ali tertawa, mengangkat bahu. ”Dan kamu harusmencoba pakaian yang ada dalam lemari. Lihat!” “Bumi” 183 Ali memamerkan pakaian yang dia kenakan. Tidak ada lagi seragamsekolah kotornya. Ali juga memakai sepatu baru. Seperti sepatu boothitam setinggi betis. ”Ini tidak seaneh seperti yang kamu lihat,” Ali meyakin­kan.”Bahkan sebenarnya pakaian ini nyaman. Aku bisa bergerak bebas. juga amat lentur, seperti tidak memakai sepatu. Aku bisamenekuk jari kaki dengan mudah. Mungkin komposisi warnanya terlihataneh. Orang-orang di dunia ini sepertinya suka sekali warna gelap, tapiitu bukan masalah. Kamu tahu, Ra, tidak ada yang lebih penting daripakaian selain nyaman dipakai. Peduli amat dengan selera warna oranglain.” Aku mengembuskan napas. Sepertinya Ali sudah menyesuai­kandiri dengan cepat di dunia lain ini. Dan sejak kapan dia peduli soalpakaian? Bukankah selama ini di sekolah dia selalu datang berantakan? Seli bangun mendengar percakapan kami. Aku menyapanya. Selimenjawab pelan. Wajahnya masih kusam. Sepertinya dia lebih sukasemua ini hanya mimpi buruk, terbangun di kota kami, dan semua mimpiburuknya hilang. Tapi mau bagaimana lagi? Bahkan aku tadi bangun,langsung harus melihat Ali yang tiba-tiba memperagakan pakaian,bergaya. Pintu bulat kamar ke arah lorong diketuk dari luar. Kami bertiga saling tatap. ”Apakah kalian sudah bangun?” terdengar suara ramah. Aku menjawab. ”Ya. Kami sudah bangun.” ”Apakah aku boleh masuk?” Aku menjawab pendek, ”Ya.” ”Siapa, Ra?” Seli berbisik, tidak mengerti percakapan. Pertanyaan Seli terjawab sendiri saat ibu si kecil mendorong pintubulat. Dia tersenyum ke arah kami. ”Bagaimana tidurnya? Nyenyak,bukan?” “Bumi” 184 Aku mengangguk. ”Oh, kamu mengenakan pakaian itu.” Ibu si kecil menatap Ali,tersenyum lebar. ”Cocok sekali. Kamu terlihat tampan.” ”Dia bilang apa, Ra?” Ali bertanya. ”Dia bilang kamu harus hati-hati memakainya, jangan sampai robekatau rusak. Itu baju mahal,” aku menjawab asal. ”Kamu tidak menipuku kan, Ra?” Ali tidak percaya. Aku nyengir lebar. ”Aku sedang menyiapkan sarapan di dapur. Setengah jam lagimatang. Kalau kalian sudah siap, jangan sungkan, ayo bergabung. Si kecilpasti senang meja makan ramai setelah hampir setahun kakaknya tidakada di rumah.” Ibu si kecil tersenyum hangat. Aku mengangguk, bilang akan segera menyusul. ”Ruangannya ada di ujung lorong ini, belok kanan hingga kalianme­nemukan pintu berikutnya. Jangan lama-lama, nanti sarapannyadingin.” Wanita itu tersenyum sekali lagi sebelum melangkah ke pintubundar, kembali ke dapur. ”Apa yang akan kita lakukan, Ra?” Seli bertanya setelah kamitinggal bertiga. ”Kita mandi pagi, Sel,” aku menjawab pelan. Ali memang yangpaling logis di antara kami bertiga. Kami diundang sarapan, maka akanlebih baik jika kami datang dengan wajah segar. ”Mandi?” Seli menatapku. Aku menoleh ke pintu kecil bulat di kamar. Ali mengangguk, asyik menyisir rambutnya dengan jemari. ”Tenangsaja, kamar mandinya tidak sekecil pintunya. Dan kali­an tidak perluhanduk sama sekali. Masuk saja. Itu kamar mandi yang fantastis. Lebihluas dibanding kamar ini.” “Bumi” 185 Aku mengangguk, mendorong pintu bulat kecil. Ali lagi-lagi mandi ini hebat. Saat aku menutup pintunya, belasan lampulangsung menyala otomatis. Aku berada di tabung bulat besar denganbanyak kompartemen. Dindingnya terbuat dari kaca, mengeluarkan sinarlembut. Ada kompartemen untuk meletakkan pakaian kotor, adakompartemen untuk pakaian bersih, wastafel, dan sebagainya sepertiyang kukenali—meski bentuknya aneh. Kejutan terbesarnya saat akumasuk ke ruangan mandinya. Ada belasan keran memenuhi dindingtabung. Saat tombol keran ditekan, bukan air yang keluar, melainkanudara segar, menerpa badan seperti memijat. Aku jelas tidak terbiasamandi dengan udara, siapa yang terbiasa? Tapi itu seru, tidak adabedanya mandi dengan air. Tabung mandi segera dipenuhi aroma wangidan gelembung kecil, badanku bersih dan segar. ”Bagaimana?” Ali cengengesan bertanya saat aku keluar. Aku tidak menjawab. Aku sedang memperbaiki posisi pakaian yangkukenakan. Aku tidak bisa mengenakan seragam sekolah yang kotor, jaditadi mengambil sembarang di kompartemen pakaian bersih, memilihpakaian dengan warna paling terang—meski tetap gelap juga. Awalnyajijik memegang baju lengket itu, tapi saat dikenakan, baju tersebutmenempel di badan dengan nyaman, segera menyesuaikan ukuran,termasuk kerah di leher. Aku mengenakan sepatu yang serupa dengan Ali,sepatu ini membuatku melangkah lebih ringan. Aku tersenyum puas. Sepertinya aku bisa menyukai pakaian duniaini. ”Kamu juga harus hati-hati mengenakan pakaian ini, Ra.” Ali juganyengir melihatku sedang becermin. ”Kenapa?” Aku menoleh. ”Kan kamu sendiri yang bilang bahwa pakaian ini ma­hal, jangansampai rusak.” Aku tertawa kecil. Seli juga ikut mandi setelah aku meyakinkan apa sekolahnya paling kotor. Dia juga harus berganti pakai­an. Seli “Bumi” 186keluar dari pintu bulat kecil dengan wajah lebih segar lima belas menitkemudian. Dia mengenakan baju lengan pen­dek, celana panjang gelapyang seperti menyatu dengan sepatunya, dilapis rok hingga lutut. Seliterlihat modis—seperti biasanya, di sekolah dia selalu terlihat paling rapiberpakaian. Kami sudah siap, tidak berbeda dengan tampilan orang-orang didunia ini. Saatnya sarapan. *** ”Wow, kalian terlihat berbeda sekali dengan pakaian-pakaian itu,”Ilo menyapa kami, tertawa lebar. ”Itu sebenarnya bukan pujian buat kalian.” Ibu si kecil ikut sedang meletakkan makanan di atas meja. Aku menatap wanita itu, tidak mengerti. ”Pekerjaan suamiku adalah desainer pakaian. Semua pakaian yangkalian kenakan, juga pakaian yang kami kenakan adalah desain­nya. Jadidia sedang memuji diri sendiri.” Ibu si kecil sambil tertawa menjelaskan. ”Desainer pakaian?” aku bergumam. Si kecil melambaikan tangankepada kami. Wajahnya yang kemerah-merahan terlihat lucumenggemaskan. ”Iya, desainer pakaian.” Ibu si kecil mengangguk. ”Ayo, semuaduduk, masakan sudah siap.” Tiga kursi bergerak keluar dari meja makan. Seli memeriksa selintas, melirikku, mengira-ngira apakah kursi iniakan ber­putar saat diduduki. Ali sudah duduk nyaman. Itu hanya kursikayu seperti umumnya, meskipun bentuknya lebih mirip tunggul ini menempel di lantai, jadi tidak akan melayang. Aku dan Seliduduk. “Bumi” 187 ”Perkenalkan, ini istriku, Vey, sedangkan si kecil, Ou. Nah, Ou, tigakakak-kakak ini namanya Raib, dengan rambut hitam panjangnya, indahsekali, kan? Seli, yang rambutnya pendek, dan satu lagi, Ali, yangrambutnya berantakan.” Ilo mem­perkenalkan kami. Ou terlihat riang. Dia malah turun dari bangkunya, me­nyalamikami bergantian. ”Dia bilang apa? Kenapa dia melihat ke arah rambutku?” Aliberbisik kepadaku. Aku tertawa, sepertinya menyenangkan menjadi orang yang lebihtahu dibanding si genius ini—bisa membalas gayanya saat meremehkanorang lain. ”Dia bilang rambutmu yang paling keren di antara semuaorang.” ”Oh ya?” Ali nyengir, refleks menyisir lagi rambut be­rantakan­nyadengan jemari. ”Kakak si kecil namanya Ily. Seperti yang kubilang semalam,usianya mungkin dua atau tiga tahun di atas kalian. Saat ini diabersekolah di akademi yang jauh dari sini. Dia suka sekali de­ngan sistemdan peralatan canggih. Dia bilang, sistem trans­portasi dan sistem lainnyadi kota ini ketinggalan zaman. Anak muda se­umuran dia selalu semangatbelajar,” Ilo menambahkan. ”Ayo anak-anak, jangan ragu-ragu, silakan dinikmatimakan­annya.” Vey mulai sarapan. Entah berada di dunia apa pun, sarapan tetaplah sarapan yangmenyenangkan. Keluarga ini ramah. Ou sedang suka ber­celoteh. Veygesit dan tangkas membantu kami. Dan yang lebih penting lagi,masakannya enak. Bahkan Ali yang se­lalu santai meng­hadapi dunia initetap mengernyit saat pertama kali melihat makanan di atas piring—piringnya lebih mirip sepatu dengan lubang kaki yang besar. Masakannyalebih aneh lagi, itu seperti bubur, tapi dengan warna gelap. “Bumi” 188 ”Tidakkah orang di dunia ini tahu bahwa warna makanan memilikikorelasi dengan selera makan?” Ali berbisik padaku. Tapi dia sendiri yangjustru semangat menghabiskan makanan itu setelah men­cobamencicipinya sesendok. Sepertinya lezat. Ali nyengir. Cengiran Ali cukupbagiku dan Seli untuk berani me­raih sendok. Memang sedap. ”Kota ini memang dibangun agar bisa beroperasi secara efi­sien.” Ilosudah berganti topik percakapan untuk kesekian kali. Dia persis sepertiPapa di rumah, suka mengobrol saat sarap­an, dan mengambil topik apasaja sebagai bahan percakapan. ”Kota kami tidak lagi menggunakan air untuk mencuci piring,pakaian, ataupun mandi. Cukup dengan udara. Itu lebih bersih, higienis,dan menjaga kelestarian air. Walaupun di kota-kota lain dan daerahpedalaman masih menggunakan air. Kamu suka kamar mandinya,bukan?” Aku mengangguk, menyendok bubur hitam. Aku tidak ba­nyakbicara, hanya sesekali. Yang sering adalah menjelaskan percakapankepada Ali dan Seli mereka berusaha mengikuti. ”Juga pakaian yang kalian kenakan, contoh lainnya. Kami me­milikiteknologi benang sintetis yang dapat menyesuaikan diri se­cara otomatisdengan pemakainya. Jadi pakaian bisa awet di­pakai meski pemiliknyabertambah dewasa, atau sebaliknya, pakaian itu diberikan kepada oranglain yang lebih kecil. Dan se­patu­nya terasa ringan, bukan? Sepatu itumemang didesain mem­buat pemakainya lebih ringan sekian persensesuai keperlu­an. Memudahkan mobilitas.” Aku mengangguk lagi. ”Kakak sekolah di mana?” Ou bertanya. Aku refleks menyebut nama SMA-ku. Ou terdiam. ”Itu nama akademi, ya?” Aku menggeleng, menelan ludah. Pasti tidak ada di dunia ini namasekolah seperti itu. “Bumi” 189 ”Mereka datang dari jauh, Nak. Kemungkinan dari luar negeri,” Ilomenjelaskan. ”Kamu lihat, dua kakak yang lain juga tidak bisa bicaradengan kita. Bahasanya berbeda.” Ou mengangguk-angguk menggemaskan. ”Sebenarnya masalah teknis lorong berpindah ini tidak sekecil yangdibicarakan orang-orang kota. Ini masalah serius.” Ilo menghela napas,sudah lompat lagi ke topik berikutnya. ”Lorong itu tidak hanya mengirimorang-orang ke tempat yang salah. Ter­sesat. Kacau-balau. Kalian tahu,beberapa hari lalu, aku bah­kan menemukan banyak benda aneh dikamar tidur Ou. Aku sama sekali tidak mengenali barang tersebut.” Aku hampir tersedak. Benda aneh? Tiba-tiba aku memikirkansebuah kemungkinan. ”Boleh kami melihatnya?” aku bertanya senormal mungkin. ”Kenapa tidak?” Ilo mengangkat bahu. ”Sebentar, akankuambil­­kan.” Ilo beranjak berdiri, melangkah ke lemari di pojok dapur. ”Dia mau ke mana?” Ali bertanya—seperti biasa ingin tahu danmendesak diterjemahkan. Aku tidak segera menanggapi Ali. Aku menatap Ilo yang kem­balimembawa sesuatu. Ya ampun! Aku hampir berseru saat benda-benda itu diletak­kan diatas meja makan. Naluriku benar. Aku mengenalinya. Itu novel milikku,flashdisk, peniti, kancing baju, tutup bolpoin, semua benda yangkuhilangkan malam sebelumnya. Ilo meletak­kannya di atas meja. ”Kalian pernah melihat benda seperti ini?” Ilo menunjuk kancingbaju. ”Entahlah dari mana datangnya, tiba-tiba muncul begitu saja dimeja belajar Ou. Lihat, yang satu ini sepertinya buku. Tetapi bentuknyaaneh, bukan? Aku juga tidak mengenali tulisan di dalamnya. Huruf-hurufyang aneh.” Ilo mengangkat novelku, membuka sembarang halamannya,memperlihatkannya kepada kami. “Bumi” 190 Seli dan Ali terdiam di sebelahku. Tanpa dijelaskan mereka tahuapa yang sedang dibicarakan. Mereka juga tahu itu benda-benda milikku. ”Bahkan, yang lebih aneh lagi, kalian lihat,” Ilo melangkah sebentarke dekat lemari lainnya, menarik keluar sesuatu, ”ini benda yang besaruntuk bisa lolos ke dalam kesalahan teknis kecil sistem lubang ini benda apa. Bentuk­nya seperti kursi, tapi model danteknologi kursi ini terlalu primitif. Aku tidak yakin ini datang dari lubangberpindah, siapa yang hendak mengirimkan kursi? Lebih baikmenggunakan transportasi biasa, bukan?” Aku menahan napas. Itu kursi belajarku. ”Ayolah, Ilo.” Vey tersenyum simpul. ”Kita sedang sarapan, tidak akan membahas lagi benda-benda itu pada saat sarapan yangmenyenangkan ini, kan? Ayo, anak-anak, habis­kan makanan kalian. Iloterlalu sering berpikir yang tidak-tidak. Imajinasinya ke mana-mana. Diabahkan sering ber­pikir dunia ini tidak sesederhana seperti yang mau tambah buburnya, Ra?” Aku, Seli, dan Ali saling tatap dalam diam. “Bumi” 191 ESUAI rencana tadi malam, setelah sarapan, Ilo akanmeng­antar kami ke pusat pengawasan lorong berpindah, untukme­nemu­kan jalan pulang. ”Ini sepertinya bukan ide yang baik, Ra,” Ali berkata pelan, saatkami disuruh menunggu di ruang tengah. Ou sedang ber­siap, mengambiltas sekolahnya. Sang ibu ikut mengantarnya ke sekolah. ”Tidak akan ada yang bisa membantu kita di pusat peng­awasanlorong itu. Saat mereka bertanya detail, jelas kita tidak bisa menjelaskanbahwa kita datang dari dunia berbeda. Semaju apa pun teknologi duniaini, itu tetap penjelasan tidak masuk akal. Bagaimana kalau merekamenganggap kita berbahaya? Me­nangkap kita?” Aku sebenarnya sependapat dengan Ali. Tapi apa yang bisa kamilakukan? ”Mereka hanya berpikir kita datang dari kota atau tempat Sesederhana itu,” Ali bergumam. ”Setidaknya keluarga ini baik dan ramah. Aku percaya Ilo tidakakan mengantar kita ke tempat jahat,” Seli berkata pelan. Sejak tadi malam, Seli menerima apa pun solusinya, sepanjang bisamembuat kami pulang layak untuk dicoba. Keberadaan bangku belajar,novel, flashdisk, dan benda-benda milikku yang ditemukan di kamar Oudengan sendirinya memastikan kami berada di dunia lain sepertipenjelasan Ali tadi malam. Tapi Seli juga benar, keluarga ini baik kepadakami. Ou terlihat lucu, ibu­nya ramah dan cantik—lebih cocok menjadimodel terkenal dan Ilo, selain baik, masih terlihat muda, tam­pan,sepertinya bukan sekadar desainer pakaian biasa. Ou bernyanyi-nyanyi riang, keluar dari kamar membawa tassekolah. ”Jangan berlari di rumah, Ou!” tegur sang ibu diiringi se­nyum. “Bumi” 192 ”Kalian sudah siap?” tanya Ilo, yang keluar dari ruang kerjanyade­ngan membawa tas. Aku mengangguk. ”Baik, mari kita berangkat.” Ilo menekan tombol di pergelangantangannya. Sebuah lubang muncul di depan kami, awalnya kecil, kemudianmembesar setinggi orang dewasa. Pinggirnya berputar-putar sepertigumpalan awan hitam. Ou lompat lebih dulu masuk, disusul bertiga ikut masuk. Terakhir di belakang, Ilo melangkah. Lubang itumengecil, lenyap. Kami berada dalam kegelapan selama beberapa detik,kemudian muncul titik cahaya kecil, membesar membentuk lubang bisa melangkah keluar. ”Selamat datang di Stasiun Sentral.” Ilo tertawa melihat wajahbingung kami. Aku kira pertama-tama kami akan menuju sekolah Ou. Ternyatatidak. Ini bukan sekolah. Ini ruangan besar yang megah, mirip stasiunkereta, tapi berkali-kali lebih canggih dari­pada stasiun kereta palingmodern di dunia kami berasal. Belasan jalur kereta, puluhan kapsulberlalu-lalang, seperti me­ng­ambang di rel, datang dan pergi. Jalur-jaluritu tidak hanya horizontal, tapi juga verti­kal, ke segala arah. Ada yangmasuk ke bawah tanah, menyam­ping, bahkan ke atas, masuk ke dalamlorong, ada banyak sekali arah jalur. Ruangan megah itu terlihat terbuat dari pualam terbaik. Dindingnya ce­merlang. Di langit-langit tergantung belasan lampu kristal mewah. Orang-orang berlalu-lalang, terlihat sibuk, bergegas. Naik-turun,pindah jalur. Hamparan lantai stasiun dipadati kesibukan pagi hari. ”Kalian sepertinya tidak pernah melihat stasiun kereta.” Ilomenepuk bahu Ali si genius itu sampai ternganga menyaksikan stasiun. ”Kita tidak lewat lubang berpindah menuju sekolah Ou?” akubertanya. “Bumi” 193 ”Di kota ini, lubang berpindah hanya digunakan untuktrans­portasi di atas. Tidak di bawah. Di dalam tanah, kamimeng­gunakan cara lama yang lebih mengasyikkan. Dengan kapsulkereta.” ”Ini di dalam tanah?” aku bertanya bingung. ”Seluruh kegiatan kota memang ada di dalam tanah. Kami tidakmau merusak hutan, sungai, apa pun yang ada di per­muka­an. Itulahkenapa rumah-rumah dibangun di atas tiang tinggi puluhan gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan sekolahdiletakkan di dalam tanah. Tenang saja, ini persis seperti di ataspermukaan, sirkulasi udara, cahaya, semuanya sama, bahkan kamu tidakakan menyadari sedang berada ratusan meter di bawah tanah, di dalambatuan keras. Satu-satunya perkantoran yang berada di atas tanahadalah Tower Komite Kota atau di sebut juga Tower Sentral yang ber­adadi atas, menara dengan banyak cabang bangunan yang kalian lihat tadimalam.” Salah satu kapsul merapat di dekat kami. ”Ayo, kita naik. Kapsulnya sudah datang.” Ilo melangkah. Pintu kapsul terbuka. Ou masuk lebih dulu. Kapsul itu tidakberbeda dengan satu gerbong kereta berukuran kecil. Ada belasan kursi didalamnya, sebagian sudah diisi penumpang lain. Dinding kapsul yangmenjadi layar televisi menampilkan infor­masi perjalanan dan siaran. Ali menatap sekitar tidak henti-hentinya. Dia tidak peduli orang lainmemperhatikannya. Aku sempat khawatir melihat kelakuan Ali, apalagibeberapa orang di dekat kami tiba-tiba berdiri. Anak-anak remaja,me­makai seragam, mereka terlihat berseru-seru antusias. Merekamengeluarkan buku, mendekati bangku kami. Apa yang akan mereka lakukan? Aku menyikut Ali agar ber­tingkahlebih normal. ”Kalian harus terbiasa dengan hal ini,” justru Vey yang ber­bisik,menahan tawa. “Bumi” 194 Anak-anak remaja seumuran kami itu menyapa Ilo—tentu sajabukan menyapa Ali. Satu-dua berseru-seru senang. Mereka mengulurkanbuku bersampul kulit masing-masing. Aku segera tahu apa yang sedang terjadi. Di layar televisi terlihattayangan, mungkin itu sebuah iklan. Wajah Ilo tampak close upmemenuhi layar, tersenyum memamerkan koleksi pakai­an terbaru. ”Ilo desainer pakaian paling terkemuka. Dia melakukan revo­lusibesar-besaran dengan teknologi yang ditemukannya. Dia selebritas, tidakkalah terkenalnya dibanding pesohor lain di kota ini. Tapi begitulah, dirumah dia tetap ayah yang kadang mem­bosankan bagi Ou.” Vey tertawalagi. ”Bahkan kalian ber­tiga tidak kenal Ilo, bukan? Sepertinya daritempat kalian datang, Ilo tidak dikenal siapa pun. Padahal Ilo selalume­nyombong dirinya terkenal di mana-mana.” Aku ikut tertawa—lebih karena aduh, lihatlah, anak-anak remajaitu masih berseru-seru saat buku mereka ditandatangani, salingmenunjukkan buku, wajah seolah histeris, lantas kembali ke bangkumasing-masing. Mereka persis teman remajaku di sekolah setiap melihatartis idola atau penyanyi boyband dari Korea.”Apa yang terjadi?” Seli bertanya, di sebelahku. ”Gwi yeo wun,” aku, menjawab sekenanya, teringat beberapa harilalu di dunia kami, Seli mengatakan kalimat itu saat Ali tiba-tiba datangingin mengerjakan PR mengarang ber­sama. Ali tidak mendengar kalimatku. Dia masih sibuk memperhati­kan,terpesona menatap buku-buku yang dibawa penumpang ber­ saat menandatangani buku penggemarnya, Ilo hanya mengguratnyadengan ujung jari. Tulisannya muncul sen­diri di atas kertas. Itu jelaslebih menarik bagi si genius ini. Kapsul yang kami naiki terus melesat cepat dalam jalur ke­reta. Diluar tidak terlihat apa-apa, tapi sepertinya kami masuk semakin dalam. ”Kamu tahu, Ra, aku lebih suka menggunakan kapsul inidi­bandingkan lorong berpindah.” Ilo yang selesai melayanipeng­gemarnya kembali mengajakku bercakap-cakap. ”Lebih “Bumi” 195konven­sional, seperti desain baju yang kubuat, tapi lebih nyaman danaman. ”Sistem lorong berpindah itu menggunakan energi yang terlalubesar. Boros. Kelak kalau insinyur kami menemukan cara berpindah diatas dengan teknologi lebih murah, tanpa harus membuat jalan di hutan,jembatan, dan sebagainya yang bisa merusak, mungkin kami akanmenyingkirkan sistem lorong berpindah.” Aku hanya diam, mendengarkan. Setelah beberapa menit melesat, kapsul itu akhirnya berhenti. Oudan ibunya berdiri. ”Kita sudah tiba di sekolah Ou,” Ilo menjelaskan. ”Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada Ayah dan kakak-kakak.” Veytersenyum. Ou meloncat riang. Dia memeluk Ilo, kemudian me­nyalami kamibertiga, mengucap salam, lantas turun dari kap­sul. ”Semoga kalian segera bisa pulang ke rumah. Orangtua kalian pastisudah cemas sekali.” Vey menyalami kami. ”Terima kasih banyak,” aku berkata sopan. Kami bertiga ikut berdiri, mengantar hingga ke pintu kap­sul. ”Salam buat orangtua kalian ya, dan jangan sungkan mampir lagijika berada di kota ini. Rumah kami selalu terbuka hangat buat kalian.”Vey memelukku untuk terakhir kali sebelum me­langkah turun menyusulOu. Aku mengangguk. Aku tidak akan percaya kami berada di dalam tanah jika Ilo tidakbilang begitu. Dari pintu kapsul yang terbuka, sebuah bangun­an sekolahterlihat. Beberapa kapsul lain merapat dari banyak jalur, anak-anaksekolah berlompatan turun, beberapa ditemani orangtua luas, dengan rumput ter­pangkas rapi. Beberapa pohon “Bumi” 196tumbuh tinggi. Ou sudah ber­lari riang melintasi gerbang menyapateman-temannya, me­ninggal­kan ibunya yang masih melambaikantangan kepada kami. Pintu kapsul menutup perlahan. Kapsul kembali melesat. Masih ada dua pemberhentian berikutnya. Anak-anak remajaberseragam itu turun, juga penumpang lain, menyisakan kami berempatketika layar televisi mendadak berganti siaran. Sepertinya itu sebuahbreaking news. Ilo menatap layar dengan saksama. Seli memegangtanganku. Ali juga berhenti mem­perhatikan sekitar, ikut menatapdinding kapsul. Seli dan Ali boleh jadi tidak tahu apa yang sedang disampai­kanpembawa acara, tapi mereka dengan segera mengerti berita itu. Sebuahtiang raksasa terlihat menimpa bagian hutan, lantas di sebelahnya duabangunan besar berbentuk balon tergeletak hancur bersama potongantiang, menghantam lebih banyak pohon lagi. ”Tidak ada yang bisa memastikan apa dan dari mana benda iniberasal. Petugas Komite Kota sedang melakukan pemeriksaan bisa dipastikan, belasan pohon rusak, dua rumah roboh saat bendaini muncul begitu saja. Tidak ada korban jiwa. Dua rumah dilaporkandalam keadaan kosong saat kejadian.” ”Ini jelas bukan masalah teknis lorong berpindah lagi.” Ilo disebelahku menghela napas. ”Ini sesuatu yang lebih besar.” Aku, Seli, dan Ali terdiam. *** Ilo juga hanya diam mematung beberapa saat setelah siaranter­sebut. Dia mengusap wajahnya, lantas bangkit berdiri, menekantombol-tombol di dinding kapsul. ”Anak-anak, kita tidak jadi menuju Pusat Pengawasan LubangBerpindah.” Ilo menggeleng. ”Aku akan memasukkan tujuan baru kita.” Aku bingung. ”Ke mana?” “Bumi” 197 ”Anak-anak...” Ilo masih berdiri, tidak menjawab pertanyaanku. Diamenatap kami bergantian dengan tatapan serius, sementara di luarkapsul melakukan manuver, melengkung, berbelok arah dengan mulus.”Sebenarnya, dari mana kalian berasal?” Aku mendongak, menatap wajah Ilo. ”Dia bertanya apa?” Ali berbisik. Aku menahan napas. ”Kalian tahu, istriku mungkin benar ketika berkali-kali bilang akuterlalu banyak berimajinasi karena pekerjaan ini. Te­tapi ada banyak halyang kita imajinasikan nyata. Seperti pakai­an, sejauh apa pun imajinasikita, itu nyata, menjadi sesuatu yang bisa disentuh. Sejak tadi malam akumemikitkan situasi ini. Buku aneh itu, dengan huruf-huruf yang yang kalian kenakan saat ditemukan di kamar anak ada tulisan dengan huruf yang sama? Terlalu banyak hal yangtidak bisa dijelaskan. Kalian tidak tersesat dari tempat biasa. Dari manakalian berasal?” Wajah Ilo terlihat serius sekali, meski ekspresi wajahnya yang baiktidak hilang. Aku berhitung, apakah akan menjawab atau tidak. Aku menoleh ke arah Seli dan Ali—yang tidak mengerti apa yangkami bicarakan. Aku menggigit bibir. Baiklah, meski ini boleh jadi tidak masuk akaldan akan membuat Ilo tertawa, aku akan menjawab. Suaraku bergetar.”Kami juga tidak tahu. Mungkin saja kami berasal dari dunia yangberbeda, dunia lain.” Mengatakan kalimat itu saja sudah terasa aneh, ”dunia lain”,apalagi berharap reaksi orang saat mendengarnya. Tapi Ilo tidak tertawa,mengernyit, atau reaksi sejenisnya. Dia hanya terdiam, ikut menahannapas, berusaha mencerna kalimatku. ”Juga benda raksasa yang menghantam dua tiang rumah itu?”
resensinovel tere liye bumi ada resensi, download read bumi 2014 by tere liye in pdf epub formats ali si jenius berpendapat bahwa bumi memiliki empat dimensi tidak hanya ada satu ada satu kehidupan di bumi tetapi ada kehidupan lainnya yang berjalan bersama sama hingga sosok tamus

Novelbumi pdf berikut ini adalah salah satu novel karangan tere liye dengan judul bumi yang dapat kamu unduh secara gratis disini novel tersebut tersedia dalam file pdf yang soft copynya bisa kamu unduh dengan mengikuti link dibawah ini. Cerita dibuka dengan penyerangan diam diam bujang ke meksiko bersama si.

seriesby tere liye goodreads share book, novel bumi karya tere liye arifuntaha blog, tere liye matahari download pdf, sinopsis dan unsur intrinsik novel matahari tere liye, bumi by tere liye book review the red glow of the dawn, intip resensi novel bumi karya tere liye, resensi novel bumi karya tere liye your blog description, Padaseri buku tere liye kali ini menceritakan tentang perjalanan tiga sekawan Raib serta kedua sahabatnya Seli dan Ali kemudian mereka bertualang kedunia pararel yang tidak banyak di ketahui orang lain dan bertemu orang orang besar klan matahari, bumi, bulan, bintang petualangan mereka untuk menyelamatkan dunia pararel . Judul : Bintang DownloadNovel Pulang - Pergi Karya Tere Liye. Download Novel Si Putih pdf Karya Tere Liye. Download Novel Buya Hamka pdf Karya Ahmad Fuadi. Semenjak ditinggal kеduа оrаng Taunya Lаіl sangat tеrрukul, tetapi Lаіl рunуа саrа sendiri untuk berhenti mеmіkіrkаnnуа, уаіtu mеnjаdі ѕеоrаng Relawan. Lаіl membalas

TereLiye - Bumi. Hadry Damar. Download PDFs. People also downloaded these free PDFs. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta. by mira delima001. Download Free PDF Download PDF by Yulansi Kakilo. Download Free PDF Download PDF Download Free PDF View PDF. MODEL AKTANSIAL DAN NARATIF FUNGSIONAL NOVEL " BUMI " KARYA TERE LIYE (TINJAUAN

.
  • zrntjhj3cf.pages.dev/973
  • zrntjhj3cf.pages.dev/807
  • zrntjhj3cf.pages.dev/600
  • zrntjhj3cf.pages.dev/456
  • zrntjhj3cf.pages.dev/893
  • zrntjhj3cf.pages.dev/946
  • zrntjhj3cf.pages.dev/528
  • zrntjhj3cf.pages.dev/708
  • zrntjhj3cf.pages.dev/810
  • zrntjhj3cf.pages.dev/849
  • zrntjhj3cf.pages.dev/558
  • zrntjhj3cf.pages.dev/149
  • zrntjhj3cf.pages.dev/998
  • zrntjhj3cf.pages.dev/821
  • zrntjhj3cf.pages.dev/776
  • novel tere liye bumi pdf